Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
UNDANG-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah membawa satu isu besar yang layak dikaji serius yaitu tentang: legalisasi Umrah Mandiri.
Bagi sebagian pihak, pengakuan terhadap umrah mandiri dianggap sebagai bentuk kemajuan , seolah memberi ruang kebebasan bagi umat Islam untuk mengatur sendiri perjalanan ibadahnya. Namun bagi pelaku industri dan pemerhati kebijakan haji–umrah, regulasi ini justru menyimpan sejumlah persoalan konseptual dan operasional yang perlu dikritisi secara jernih.
Konteks dan Semangat Perubahan
Jika kita membaca konsideran UU ini (UU Nomor 14 Tahun 2025), khususnya poin (b) dan (c), jelas terlihat semangat dan alasan pemerintah mengubah undang-undang lama menjadi UU Nomor 14 Tahun 2025 ini, yaitu: dalam rangka memperbaiki tata kelola kelembagaan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah agar lebih syar’i, aman, nyaman, tertib, serta mendukung ekosistem ekonomi ibadah haji dan umrah.
Selain itu, UU ini juga berupaya menyesuaikan dengan perkembangan hukum, kebutuhan masyarakat, dan kemajuan teknologi. Artinya, pengakuan terhadap skema umrah mandiri lahir bukan semata karena keinginan mempermudah, tetapi juga karena adanya kebutuhan untuk memperluas model penyelenggaraan yang sesuai dengan dinamika zaman.
Namun, di balik semangat itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah payung hukum yang disediakan sudah cukup jelas dan adil? Mari kita kupas tuntas secara mendalam sambil santai minum kopi tanpa gula. Jangan lupa untuk tetap ber-husnudhon terhadap apapun yang kita hadapi.
Mari kita mulai dengan membaca Pasal 1. pasal yang berisi definisi umum ini ternyata tidak menyebut sama sekali istilah umrah mandiri. Padahal, istilah ini kini memiliki konsekuensi hukum dan administratif yang besar. Ketidakjelasan ini berpotensi menciptakan tumpang tindih, bahkan risiko hukum bagi masyarakat yang awam terhadap regulasi.
Kita bisa bertanya, yang dimaksud umrah mandiri itu yang seperti apa? Umroh yang dilakukan oleh seseorang secara mandiri, semuanya diurus sendiri, atau boleh diuruskan orang lain atau kelompok lain atau korporasi? Pertanyaan inilah yang kini menggelantung dan dibiarkan melayang oleh pembuat UU. Maka jangan heran jika kelak dalam implementasi UU ini akan muncul kegaduhan baru.
Semua Penyelenggara Tetap Terikat Asas dan Tujuan
Kita lanjutkan membaca Pasal 2 dan 3. Dalam pasal 2 dan 3 UU ini menegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, termasuk umrah mandiri, wajib berasaskan syariat, amanah, keadilan, profesionalitas, akuntabilitas, serta pelindungan jamaah. Tujuannya pun serupa, yaitu: memberi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan agar jamaah dapat beribadah dengan aman dan tertib, sekaligus memperkuat ekosistem ekonomi haji dan umrah di Indonesia.
Artinya, sekalipun diberi ruang “mandiri”, jamaah tetap tidak bisa bebas sebebas-bebasnya. Ia tetap harus berada dalam sistem yang terorganisir, transparan, dan dapat diawasi. Dalam UU ini taka da ketentuan yang mengatur bagaimana umrah mandiri drencanakan, diorganisisr, dan memenuhi azas transparan serta dapat diawasi. Pun pengawasannya oleh siapa? Seemua tidak jelas dan dibuat menggantung.
Publik tidak salah jika berkesimpulan bahwa jika kegiatan umrah mandiri itu perencanaanya, pengorganisasianya, dan pelaporanya tidak dilakukan sebagaimana diatur dalam pasal ini, berarti perjalanan itu secara hukum bisa dianggap tidak sah. Artinya melanggar UU ini.
Diskriminasi Terselubung terhadap Jamaah Mandiri
Yuk sekarang kita lanjut membaca pasal Pasal 86 dan 87. Pada pasal 86 ayat (1) UU ini membuka tiga jalur perjalanan umrah, yaitu: melalui PPIU, secara mandiri, atau melalui Menteri. Lalu pada Pasal 87A yang mengatur syarat bagi jamaah umrah mandiri, yaitu harus: beragama Islam, memiliki paspor, tiket, surat sehat, visa, serta bukti pembelian layanan melalui sistem informasi Kementerian.
Lagi-lagi UU ini tidak mengatur siapa dan Lembaga mana yang mengatur, membina dan mengawasi kegiatan umrah mandiri ini. Jangan-jangan ini kelak menjadi jebakan yang ujung-ujungnya merugikan masyarakat yang ingin melakukan umrah model ini. Baik jebakan hukum maupun jebakan sosial dan politik yang mungkin hari ini belum terpikirkan.
Yang menarik adalah jika kita lanjutkan membaca pasal 96 ayat (5). Di Pasal 96 ayat (5) ini kita mendapati ironi yang mengusik Nurani. Begini bunyi pasalnya: “Jemaah Umrah dan petugas umrah mendapatkan pelindungan hukum, keamanan, layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi, kecuali jemaah umrah mandiri; serta pelindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan, kecuali jemaah umrah mandiri.”
Kalimat “kecuali jemaah umrah mandiri” menunjukkan adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara yang menjalankan ibadah di tanah suci. Mereka yang memilih jalur mandiri justru kehilangan hak dasar berupa jaminan layanan dan perlindungan.
Apakah ini bentuk keadilan? Ataukah justru diskriminasi halus yang bertentangan dengan asas “pelindungan” dan “non-diskriminasi” sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2?. Lagi-lagi kita bisa membuktikan bahwa struktur UU ini seolah dibuat secara serampangan.
Jangan-jangan memang tidak ada kajian akademiknya. Jangan-jangan perubahan UU ini hanya sekedar memenuhi selera kelompok tertentu yang ingin menghancurkan industri umrah yang ada selama ini. Tentu ini bukan bentuk sikap su’udhon, tetapi sikap skiptis ilmiah akademik. Dan memang selama ini ada gelagat kea rah sana yang dirasakan oleh pelaku industri umroh. Wallohu a’lam.
(BERSAMBUNG)
Editor : Alim Perdana