Oleh: Ulul Albab
Akademisi Administrasi Publik & Kebijakan Publik, Pengajar Pendidikan AntiKorupsi
PERDEBATAN mengenai dugaan penyimpangan dalam pembagian kuota haji tambahan 2024 masih menjadi sorotan publik. Ada yang melihatnya sebagai pelanggaran, sementara yang lain berpendapat bahwa kebijakan tersebut diambil demi kepentingan Indonesia dan jemaah haji.
Di tengah ramainya opini dan penyelidikan, penting untuk tenang dan bertanya: apakah keputusan ini benar-benar melanggar hukum, ataukah merupakan diskresi administratif yang sah?
Memahami Diskresi
Diskresi adalah kewenangan pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan dalam situasi yang belum diatur jelas oleh undang-undang, demi kelancaran pelayanan publik dan kepentingan umum.
Landasan hukumnya ada dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Diskresi digunakan untuk: (1). Mengisi kekosongan hukum, (2). Melancarkan pemerintahan, (3). Memberikan kepastian hukum, dan (4). Menghindari stagnasi pemerintahan.
Dalam kasus kuota haji tambahan 2024, Menteri Agama menggunakan diskresi karena adanya situasi luar biasa: pemberian kuota tambahan oleh Pemerintah Arab Saudi terjadi menjelang keberangkatan.
Keputusan harus segera diambil agar jemaah Indonesia tidak kehilangan kesempatan berhaji. Dalam kondisi ini, keputusan cepat bukan hanya rasional, tetapi juga tanggung jawab moral dan administratif pejabat publik.
Kewenangan Menguji Diskresi
Secara hukum tata negara, yang berwenang menilai sah atau tidaknya suatu diskresi adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan lembaga penegak hukum seperti KPK. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 menegaskan bahwa PTUN berwenang memeriksa keputusan pejabat administrasi negara.
Pengujian kebijakan administratif, termasuk apakah diskresi dilakukan sesuai prosedur dan untuk kepentingan umum, harus dilakukan secara administratif terlebih dahulu, bukan langsung melalui pendekatan pidana.
KPK memiliki mandat penting dalam pemberantasan korupsi, namun intervensi pada wilayah kebijakan publik tanpa indikator korupsi yang jelas, berpotensi mengaburkan batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana. Tidak semua keputusan yang tidak lazim adalah pelanggaran hukum.
Bahaya Kriminalisasi Kebijakan
Penegakan hukum tanpa pemahaman administrasi dapat berujung pada kriminalisasi kebijakan. Jika setiap keputusan diskresioner langsung dicurigai sebagai korupsi, pejabat publik akan kehilangan keberanian untuk bertindak cepat dalam situasi darurat.
Padahal, hukum administrasi modern dibangun atas asas "good faith governance", niat baik pejabat dalam menjalankan tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat. Kriminalisasi terhadap niat baik justru akan menimbulkan efek ketakutan (paralysis by fear) di kalangan birokrasi, yang pada akhirnya merugikan pelayanan publik itu sendiri.
Administratif Dulu, Pidana Kemudian
Dalam sistem hukum publik, dikenal prinsip "integrated legal control" terhadap tindakan pemerintah. Setiap dugaan penyimpangan kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu melalui mekanisme administratif, baru kemudian, bila terbukti ada niat jahat dan keuntungan pribadi, dapat dilanjutkan ke ranah pidana.
Pendekatan ini menjaga keseimbangan antara dua nilai penting: Pertama, pemerintahan tetap berjalan cepat dan responsif. Kedua, penegakan hukum tetap tegas tanpa mengebiri keberanian pejabat publik. Banyak negara maju menerapkan prinsip serupa, agar ruang inovasi dalam tata kelola pemerintahan tetap hidup tanpa mengorbankan prinsip akuntabilitas.
Refleksi: Menjaga Keadilan dan Akal Sehat
Dalam perdebatan kuota haji tambahan ini, kita tidak sedang membela siapa pun. Kita hanya ingin menjaga akal sehat publik dan keseimbangan hukum. Bahwa keberanian pejabat mengambil keputusan untuk kepentingan umat tidak boleh langsung dipidana tanpa dasar hukum yang kuat.
KPK tetap harus didukung sebagai pilar integritas bangsa. Namun, dalam menjalankan fungsinya, proporsionalitas dan asas keadilan substantif harus dijaga. Karena dalam dunia administrasi pemerintahan, tidak semua kesalahan adalah kejahatan, dan tidak semua keputusan yang berbeda dari kebiasaan adalah penyimpangan.
Editor : Alim Perdana