Uang Rakyat yang Tidur di Bank

Petugas menata uang pecahan rupiah di BI. Foto/Ali Masduki
Petugas menata uang pecahan rupiah di BI. Foto/Ali Masduki

Oleh: Ulul Albab
Dosen Manajemen Keuangan Publik
Ketua ICMI Jawa Timur

SUDAH lama kita tahu: banyak uang rakyat tidak berputar di tangan rakyat. Tapi disimpan di Bank. Tahun ini nilainya Rp233,97 triliun. Ya, hampir Rp234 triliun dana pemerintah daerah (Pemda) kini sedang tidur nyenyak di bank.

Uang itu seharusnya untuk membangun jalan, menambal jembatan, memperbaiki sekolah, dan menggerakkan ekonomi desa.

Tapi kenyataannya, ia malah beristirahat di rekening giro dan deposito, padahal rakyat menunggu janji pembangunan yang tak kunjung diwujudkan. Ada apa dengan Pemda kita?.

Uang yang Tidak Bekerja

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sepakat menyerukan agar uang tersebut segera dibelanjakan, karena kalau serapan anggaran daerah rendah, sementara uangnya ada dan hanya didiamkan menumpuk di bank, maka ekonomi lokal akan lesu.

Data terbaru per September 2025 dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menunjukkan: Rp178 triliun tersimpan dalam giro, Rp48 triliun di deposito, dan Rp7,4 triliun di tabungan.

Provinsi DKI Jakarta mencatat simpanan tertinggi, Rp14,68 triliun, disusul Kabupaten Bojonegoro dengan Rp3,6 triliun.

Sementara itu, Sulawesi Barat nilainya kecil hanya menyisakan Rp150 miliar, mungkin Sulawesi Barat itulah salah satu daerah yang benar-benar “berani membelanjakan” anggarannya untuk rakyat.

Yang ironis, di saat uang tidur, belanja daerah justru menurun 13,1 persen secara tahunan. Realisasi belanja baru Rp712,8 triliun, atau 51,3 persen dari total anggaran Rp1.289 triliun. Selebihnya masih menjadi angka diam di layar komputer bendahara daerah.

“Jangan biarkan uang tidur. Uang itu harus kerja bantu ekonomi daerah,” kata Purbaya. Uang publik baru punya nilai kalau berputar dan bekerja.

Mengapa Uang Itu Mengendap?

Mendagri Tito tak ingin sekadar menyalahkan. Ia membuka satu per satu alasan yang, kalau dijumlah, bisa disebut sebagai “birokrasi rasa insomnia”.

Ada sembilan penyebab utama dana mengendap: mulai dari penyesuaian visi kepala daerah baru, perubahan Inpres efisiensi anggaran, lambatnya juknis DAK, hingga pergantian sistem katalog elektronik versi 6 yang membuat banyak pejabat daerah bingung cara memakainya.

Ada pula yang menunggu proyek selesai dulu baru mencairkan pembayaran. Ada yang menahan uang karena trauma kasus hukum. Dan ada pula rekanan yang sengaja menunda penarikan dana sampai akhir tahun agar bunga bank bisa dinikmati sedikit lebih lama.

Semuanya tampak rasional di atas kertas, tapi dampaknya sangat nyata di lapangan: ekonomi daerah kehilangan momentum.

Desentralisasi yang Belum Matang

Fenomena ini menunjukkan bahwa: desentralisasi fiskal kita belum matang. Kewenangan sudah diberikan, tapi tidak diimbangi dengan kapasitas kelembagaan dan kepemimpinan daerah.

Banyak kepala daerah masih berhitung politis. Mereka takut salah langkah, takut diperiksa, takut rugi secara citra. Akibatnya, yang seharusnya menjadi sense of urgency berubah jadi sense of delay.

Padahal, APBD adalah kontrak moral antara pemerintah dan rakyat. Uang rakyat harus segera dikembalikan dalam bentuk pelayanan, infrastruktur, dan kesejahteraan. Kalau uangnya diam di bank, maka keadilan sosial pun ikut tertunda.

Solusinya Jangan Hanya Teguran

Purbaya mengusulkan sistem baru: transfer ke daerah berbasis kebutuhan dan waktu nyata. Artinya, daerah tak perlu menimbun dana terlalu banyak. Bila kurang, tinggal mengajukan kembali ke pusat secara cepat dan transparan.

Sementara itu, Tito menggarisbawahi pentingnya integrasi sistem dan sinkronisasi kebijakan antar-kementerian. Jangan sampai daerah tersandera oleh tumpukan surat edaran dan juknis yang datang silih berganti.

Tapi tentu saja, solusi teknis tidak cukup. Kita butuh reformasi mental fiskal: cara pandang baru bahwa anggaran publik bukan beban administrasi, tapi energi sosial.

Ketika seorang kepala daerah memutuskan menunda proyek, ia sebetulnya menunda peluang kerja bagi rakyatnya sendiri. Ketika bendahara menahan pencairan karena “nanti saja di akhir tahun,” ia sebetulnya menunda denyut ekonomi lokal.

Membangunkan Uang yang Tidur

Pemerintahan Prabowo–Gibran kini menghadapi tantangan besar: bagaimana membangunkan uang rakyat yang tertidur. Dengan Rp233 triliun saja, kita bisa membangun 20 ribu puskesmas, memperbaiki 10 ribu sekolah, dan membuka jutaan lapangan kerja baru.

Masalahnya bukan di kurangnya uang, tapi kurangnya kemauan dan keberanian untuk memutarnya menjadi manfaat. Seperti kata ekonom lama, “uang yang diam itu mati; uang yang berputar itu hidup.”

Saya menduga fenomena uang yang dibiarkan tidur di bank ini mencerminkan betapa birokrasi kita, khususnya pemda, tidak benar-benar all out bekerja untuk rakyat, tetapi bekerja untuk diri sendiri untuk aman dan berada di zona nyaman.

Jika dugaan ini benar, maka mestinya pemda yang sengaja membiarkan uangnya tidur di bank harus diberi sanksi tegas. Karena membiarkan uang rakyat menganggur adalah bentuk kelalaian publik yang tak kalah parah dari korupsi.

Editor : Alim Perdana