BANDUNG – Nasib ratusan satwa di Bandung Zoo berada di ujung tanduk menyusul penutupan operasional kebun binatang tersebut sejak Agustus 2025.
Penutupan yang telah berlangsung lebih dari dua bulan ini menyebabkan hilangnya total pemasukan dari tiket pengunjung, membuat kelangsungan hidup satwa kini sepenuhnya bergantung pada kas internal yayasan pengelola.
Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI) menyuarakan keprihatinan mendalam dan mendesak Kementerian Kehutanan (sekarang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK) untuk segera mengambil tindakan.
"Kondisi ini bukan hanya soal administrasi atau sengketa lahan, tetapi menyangkut tanggung jawab hukum dan moral negara terhadap satwa yang dilindungi undang-undang dan berstatus milik negara," ujar Muhammad Dafis, S.H., dari Bidang Hukum APECSI, dalam keterangan pers di Bandung hari ini.
APECSI menegaskan bahwa Bandung Zoo bukan sekadar tempat wisata, melainkan Lembaga Konservasi (LK) Ex-Situ resmi yang diakui negara melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 357/Kpts-II/2003. Sesuai Undang-Undang, LK berada di bawah pembinaan dan pengawasan langsung Kementerian Kehutanan, bukan Pemerintah Daerah (Pemda).
Dafis menilai penutupan yang dilakukan tanpa izin resmi KLHK melanggar aturan, khususnya Peraturan Menteri LHK Nomor P.22 Tahun 2019 yang menyatakan pencabutan izin LK harus dilakukan oleh Menteri LHK setelah evaluasi dan rekomendasi Direktur Jenderal KSDAE.
"Urusan konservasi sumber daya alam hayati adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum bagi Pemerintah Daerah atau pihak lain untuk menutup operasional Bandung Zoo. Penutupan sepihak ini bertentangan dengan hukum," tegas Dafis.
Selama penutupan, APECSI menyebut bahwa seluruh biaya operasional, pakan, dan perawatan medis satwa masih ditanggung penuh oleh kas Yayasan pengelola tanpa adanya bantuan dari Pemerintah Kota Bandung. Para keeper dan dokter hewan diklaim tetap bekerja keras untuk menjaga satwa.
Namun, dengan menipisnya kondisi keuangan yayasan akibat terhentinya pemasukan, muncul kekhawatiran serius terhadap kesejahteraan satwa.
"Jika akibat penutupan ini satwa mengalami kelaparan, stres berat, atau bahkan kematian, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kelalaian serius yang berimplikasi pidana konservasi," jelas Dafis.
Ia merujuk pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang mewajibkan LK menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan satwa, serta Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah.
"Kami menegaskan, setiap pejabat atau pihak yang menyebabkan penderitaan satwa wajib dimintai pertanggungjawaban hukum dan moral. Jangan sampai niat menegakkan hukum justru berbalik melanggar hukum konservasi," tambahnya.
Guna mencari solusi dan mendesak penegakan hukum, APECSI telah melakukan audiensi dengan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.S., anggota Komisi IV DPR RI (Fraksi PDI Perjuangan) pada 9 Oktober 2025.
Prof. Rokhmin disebut menyambut baik informasi ini dan berjanji akan menindaklanjuti langsung ke Direktorat Jenderal KSDAE KLHK untuk meminta klarifikasi dan langkah penyelamatan satwa.
"Kami mengapresiasi sikap Prof. Rokhmin dan berharap Komisi IV DPR segera memanggil KLHK agar hukum ditegakkan dan satwa Bandung Zoo diselamatkan," harap Dafis.
APECSI mendesak KLHK untuk segera mengambil langkah cepat untuk menyelamatkan seluruh satwa di Bandung Zoo. Selain itu juga melakukan audit terhadap dasar penutupan dan memulihkan kembali operasional Lembaga Konservasi sesuai aturan yang berlaku.
"Satwa tidak bisa bicara. Karena itu, kitalah yang harus bersuara. Kami akan terus mengawal persoalan ini sampai Bandung Zoo kembali beroperasi di bawah pengawasan yang sah dan satwa-satwanya kembali terlindungi," tutup Muhammad Dafis.
Editor : Alim Perdana