Penutupan Bandung Zoo dan Sorotan Aktivis Konservasi

Singky Soewadji, Pemerhati Satwa Liar sekaligus Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI). Foto/Dok RLD
Singky Soewadji, Pemerhati Satwa Liar sekaligus Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI). Foto/Dok RLD

BANDUNG - Polemik berkepanjangan terkait pengelolaan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) memasuki babak kritis setelah muncul wacana penutupan. Situasi ini langsung menuai sorotan tajam dari kalangan aktivis, yang menilai konflik manajemen telah membahayakan nasib satwa dan mencerminkan kegagalan negara dalam program konservasi.

Kekhawatiran tersebut disampaikan oleh Singky Soewadji, Pemerhati Satwa Liar sekaligus Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI). Menurut Singky, kondisi yang terjadi di Bandung Zoo yang kini menghadapi dualisme manajemen adalah potret suram dari konservasi ex situ di Indonesia.

Bandung Zoo memiliki sejarah panjang, berawal dari kebun binatang yang didirikan oleh Bupati R.A.A. Martanegara pada tahun 1900 dan diresmikan sebagai Jubilee Park, pada 1 Januari 1933. Lembaga ini dikelola oleh Yayasan Margasatwa Tamansari dan telah mengantongi izin Lembaga Konservasi (LK) resmi dari Menteri Kehutanan sejak tahun 2003, bahkan sempat mendapat Predikat B pada 2011.

Namun, menurut Singky, konflik terbaru antara Yayasan Margasatwa Tamansari dan pihak Taman Safari Indonesia telah menciptakan ketidakpastian manajemen yang fatal.

“Konflik manajemen ini berimbas langsung pada nasib ratusan satwa liar terancam yang ada di sana, karena kesulitan biaya perawatan. Organisasi seperti PKBSI, yang seharusnya membina anggotanya (Bandung Zoo), justru berkonflik. Ini adalah kekecewaan besar,” kata Singky Soewadji.

Singky menegaskan bahwa Penutupan Bandung Zoo menunjukkan adanya pembiaran dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kehutanan.

“Sebagai pihak yang berwenang dan paling bertanggung jawab, pemerintah casu quo Kementerian Kehutanan terlihat abai dan diam. Nasib satwa milik negara dan dilindungi oleh Undang-Undang (UU No. 5 Tahun 1990) dipertaruhkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Singky menegaskan bahwa penutupan kebun binatang sebagai Lembaga Konservasi (LK) yang sah tidak boleh dilakukan oleh instansi yang tidak memiliki kewenangan.

“Negara gagal mengamankan program konservasi Ex Situ. Apalagi penutupan dilakukan oleh instansi yang tidak memiliki kewenangan, yang dengan dalih apapun tidak bisa dan tidak boleh ditutup,” ujarnya.

Ia menambahkan, hal tersebut tidak sejalan dengan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang konservasi, termasuk Peraturan Menteri LHK Nomor P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5 /2019 tentang Lembaga Konservasi.

Oleh karena itu, APECSI menuntut agar Departemen Kehutanan c.q Ditjen KSDAE segera mengambil sikap demi menjamin harkat hidup satwa liar terancam yang dilindungi secara Nasional maupun Internasional.

Singky berharap ada intervensi cepat dari pemerintah agar konflik sengketa manajemen tidak mengorbankan fungsi vital lembaga konservasi.

Editor : Alim Perdana