Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jatim | Ketua Litbang DPP Amphuri
DI era media sosial, di mana semua hal bisa viral dalam semalam, kita justru menyaksikan paradoks: cendekiawan semakin sunyi dari panggung umat. Ilmunya tersimpan di jurnal, tapi tak menyentuh warga. Gagasan hebatnya diabadikan di repository kampus, tapi tak terdengar di forum-forum RT atau majelis taklim. Mengapa?
Sebagian besar karena jebakan pamrih. Cendekia zaman now sering terperangkap dalam logika transaksional—jika tidak ada undangan, fee, atau panggung, maka diam adalah pilihan. Padahal Rasulullah tak pernah menunggu undangan untuk berdakwah. Ia mendatangi kabilah satu per satu, membawa pesan, bukan mencari panggung.
Ilmu yang Bermanfaat Itu Bergerak, Bukan Mengendap
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad, no. 23408). Ilmu yang tidak disampaikan, tak akan memberi manfaat. Bahkan dalam logika Islam, bisa menjadi hisab berat di akhirat.
Seperti sabda Nabi SAW: "Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan dikekang dengan kendali dari api neraka." (HR. Abu Dawud, no. 3658) Artinya, ilmu itu bukan sekadar hak milik akademik, melainkan amanah sosial.
Misi Dakwah yang Diperluas: Dari Mimbar ke Media Sosial
Di zaman Rosulullah SAW, mimbar adalah jalan utama menyampaikan risalah. Hari ini, mimbar itu telah menjelma: dari status WhatsApp, YouTube shorts, podcast, hingga kelas kecil di posyandu. Seorang cendekiawan muslim hari ini ditantang untuk berpindah dari ruang “resmi” ke ruang “riil”, yakni ruang tempat umat mencari jawaban, bukan tempat akademik memberi definisi.
Inilah dakwah intelektual zaman now: menyampaikan inspirasi dari mana pun, tanpa menunggu protokol. Tampa menunggu diacarakan. Tanpa harus dipamfletkan. Tanpa mensyaratkan jumlah audiens. Tanpa menunggu tepuk tangan, apalagi pakai meminta bayaran.
Frankl (2006), dalam teorinya tentang logoterapi, menegaskan bahwa manusia akan menemukan kebahagiaan dan kesehatan mental tertinggi saat ia menjalani hidup yang bermakna, dan makna itu lahir ketika ia memberi, bukan menunggu diberi. Maka berbagi ilmu tanpa pamrih sesungguhnya justru menyuburkan jiwa sang pemberi.
Menjadi Cendekiawan Milik Umat, Bukan Milik Jabatan
Peradaban Islam lahir bukan dari menara gading, tetapi dari orang-orang yang menyatukan ilmunya dengan kebutuhan umat. Ibn Sina menulis buku kedokteran sambil melayani masyarakat. Al-Ghazali mengajar sambil membina akhlak muridnya. Bahkan Buya Hamka menulis tafsir saat dipenjara. Mereka tak menunggu panggung. Mereka menciptakan panggung dari cinta kepada ilmu dan umat.
Saatnya Para Cendekiawan Turun Gunung
Kini, umat tidak kekurangan sarjana, profesor, atau akademisi. Yang dibutuhkan adalah cendekiawan yang hadir, yang mau menyapa anak muda dengan bahasa sederhana, menjawab kegelisahan ibu-ibu lewat pengajian kecil, atau sekadar membagikan inspirasi lewat postingan jujur dan tulus.
Inilah dakwah intelektual zaman now: Istiqomah rutin terus menerus Menginspirasi tanpa pamrih, menyemai manfaat tanpa berharap pujian, kendatipun hanya satu bait tulisan, atau satu menit konten ucapan. Karena, seperti sabda Rosulullah SAW: "Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang terus-menerus meskipun sedikit." (HR. Bukhari, no. 6464)
Editor : Alim Perdana