Polemik Pajak Reklame SPBU Surabaya: Tunggakan Rp26 Miliar, Aturan Retroaktif Dipertanyakan

Ranggah Rajasa Indonesia bertemu dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni . Foto/Ayojatim
Ranggah Rajasa Indonesia bertemu dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni . Foto/Ayojatim

SURABAYA - Polemik tagihan pajak reklame untuk 97 SPBU di Surabaya mencapai titik krusial. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan tunggakan pajak reklame senilai Rp26 miliar.

Permasalahan ini berbuntut pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi B DPRD Surabaya dan DPC Hiswana Migas Surabaya, yang memperdebatkan kewajaran tagihan dan penerapan Perda Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Perda tersebut, bersama Perda Nomor 5 Tahun 2019 dan Perwali Nomor 33/2024, 53/2023, dan 70/2010, mengatur perhitungan pajak reklame berdasarkan dimensi dan luas reklame. Yang menjadi sorotan adalah pengenaan pajak pada resplang merah di atap SPBU, yang dianggap oleh pengusaha sebagai identitas, bukan reklame.

“Pemkot waktu itu saya suruh minta Legal Opinion (LO) di Kejaksaan. Pendapat hukum dari Jaksa Pengacara Negara (JPN) hasilnya bagaimana saya belum tahu. Perdebatannya bukan soal setuju atau tidak, tapi isu hukumnya: apakah aturan ini retroaktif atau tidak? Karena dulu tidak dikenakan pajak," ujar Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni

Fathoni menambahkan, dengan berlakunya undang-undang hubungan keuangan pusat dan daerah, dan Perda pajak dan retribusi baru, ada kenaikan di komponen tertentu.

"Fraksinya di Komisi B waktu itu mengkritik percepatan pembahasan karena ada komponen yang tidak masuk akal. Pemkot menggandeng JPN untuk tagih utang pajak, tidak hanya SPBU, tetapi juga sektor lain. Kewajiban pembayaran pajak ini tidak bisa diotak-atik, tetap tertagih meskipun tidak dibayar tahun ini atau 10 tahun lagi," terangnya.

Persoalan retroaktifitas aturan menjadi poin penting. “Yang di Surabaya ini, bukan soal wajib pajak atau tidak, tetapi apakah aturan ini berlaku mundur atau tidak,” tegas Fathoni.

Di sisi lain, Ketua Umum Ranggah Rajasa Indonesia, Eko Muhammad Ridwan, mendesak kepatuhan pajak.

“Hiswana Migas sudah sangat mengeruk keuntungan dari masyarakat Surabaya. Kami meminta penegak hukum lebih maksimal dalam pengawasan. Jangan sampai subsidi BBM dimanfaatkan,” ujarnya.

Ridwan juga menyoroti disfungsi barcode SPBU di atas jam 12 malam, yang berpotensi pada pelanggaran.

Pemkot Surabaya, menurut Fathoni, berencana membongkar totem SPBU yang bermasalah jika tunggakan tak dibayar, sejalan dengan rekomendasi BPK yang perlu ditindaklanjuti.

Polemik ini menyoroti pentingnya kejelasan regulasi dan komunikasi yang efektif antara pemerintah dan pengusaha, agar penerapan pajak berjalan adil dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Proses hukum yang sedang berjalan akan menentukan nasib tagihan Rp26 miliar ini. Kejelasan status retroaktifitas Perda menjadi kunci penyelesaian polemik ini.

Editor : Alim Perdana