Haji, Panggilan Cinta dari Langit

Salah satu momen yang sangat menyentuh dalam haji adalah ketika ihram dikenakan. Foto/Hahal.id
Salah satu momen yang sangat menyentuh dalam haji adalah ketika ihram dikenakan. Foto/Hahal.id

MULAI 1 Mei 2025, Indonesia kembali memberangkatkan kloter pertama jamaah haji ke Tanah Suci. Di tahun ini, ICMI Jawa Timur ingin turut ambil bagian dalam menyambut musim haji dengan cara yang khas: menyapa para calon tamu Allah lewat rangkaian artikel berseri.

Artikel-artikel ini kami susun sebagai bentuk edukasi dan inspirasi, menuju satu tujuan yang sama: ibadah haji yang mabrur, baik secara spiritual maupun sosial.

Tulisan pertama ini mengangkat tema besar: tentang panggilan. Bukan sekadar panggilan administratif dari Kementerian Agama, tapi panggilan yang lebih dalam: panggilan cinta dari langit. Panggilan yang tak semua orang bisa menjelaskannya dengan logika, namun sangat mungkin dirasakan oleh hati yang tulus dan rindu.

Ada hal yang selalu membuat kita merenung setiap kali musim haji tiba. Ada orang yang merasa belum siap, baik secara ekonomi maupun keilmuan, tapi justru tiba-tiba bisa berangkat. Sebaliknya, ada pula yang merasa sudah menabung puluhan tahun, namun panggilan itu tak kunjung datang.

Maka benarlah bahwa haji bukan semata perjalanan fisik, melainkan rihlah spiritual yang sangat personal. Haji adalah kehendak Ilahi, yang datang pada waktu yang dikehendaki-Nya.

Mereka yang berangkat, hakikatnya adalah tamu-tamu istimewa. Mereka dijamu oleh Allah, bukan hanya sekedar untuk melihat Ka’bah, tapi juga dijamu dengan ujian sabar, pengendalian diri, serta pelajaran hidup yang tidak bisa dibeli oleh apapun di dunia ini.

Haji tidak hanya untuk berdiri di padang Arafah, tetapi juga untuk berdiri di hadapan dirinya sendiri, lalu bertanya: sudahkah aku benar-benar menjadi hamba Allah yang sebenarnya?

Salah satu momen yang sangat menyentuh dalam haji adalah ketika ihram dikenakan. Dua helai kain putih tanpa jahitan, yang menghapus segala simbol duniawi. Tidak ada profesor atau petani, tidak ada menteri atau sopir angkot, semua sama, semua setara di hadapan Allah.

Ihram mengajarkan bahwa segala bentuk status, pangkat, jabatan, dan gelar, semuanya itu hanyalah semu. Yang tersisa hanyalah jiwa yang berserah. Berserah diri secara total.

Ada pesan mendalam dalam kesetaraan ihram, yang menampar sisi elitis dalam diri kita. Ihram mendidik bahwa haji adalah tempat menyatunya ummat, bukan hanya secara ritual, tetapi juga secara sosial dan moral.

Maka Ketika usai haji seseorang masih merasa lebih tinggi dari yang lain, atau lebih suci dari yang belum berangkat, bisa jadi ia hanya pulang membawa gelar, bukan hikmah. Bergelar haji namun kelakuan dan kebiasaanya tidak mencerminkan ketertundukan sejati kepada Ilahi.

Saya teringat satu kalimat seorang sahabat Nabi: "Barangsiapa pulang dari haji tapi tidak berubah hidupnya, maka ia hanya jalan-jalan ke padang pasir."

Kalimat ini menohok sekaligus menyadarkan. Haji sejatinya adalah transformasi, bukan seremoni. Jika pulang dari Mekkah seseorang masih sama keras hatinya, sama liciknya, sama zalimnya, maka barangkali yang ia lakukan hanyalah wisata rohani, bukan perjalanan suci.

Karenanya, kita perlu menata ulang makna haji dalam kesadaran umat. Bahwa haji bukan sekadar menggugurkan kewajiban, tetapi juga menumbuhkan kemuliaan. Haji adalah momen pulang ke dalam. Apa maksudnya? Pulang ke jati diri sejati sebagai hamba. Bukan pulang membawa oleh-oleh, tetapi pulang membawa cahaya. Pulang dengan kepribadian baru yang lebih jujur, sabar, santun, dan rendah hati.

Dan jangan salah, haji juga bisa gagal. Bukan berarti gagal karena batal berangkat, tapi gagal karena tidak membawa perubahan. Tidak semua haji menjadi mabrur. Maka mari kita doakan saudara-saudara kita yang berangkat tahun ini agar diberikan kekuatan lahir dan batin untuk meraih kemabruran yang sejati.

Bagi yang belum berangkat, bersyukurlah juga. Karena rindu yang tulus, meski belum berwujud perjalanan, tetap bernilai mulia. Siapa tahu, panggilan itu sedang menanti waktu terbaiknya. Jangan pernah remehkan kekuatan doa. Karena panggilan itu tak datang karena uang, tapi karena cinta dan izin-Nya.

Artikel ini adalah pembuka dari serial reflektif “Menuju Haji Mabrur” dari ICMI Jawa Timur. Akan hadir tulisan-tulisan berikutnya, dengan tema-tema yang ringan tapi menggugah. Tidak menggurui, tidak menghakimi. Tapi semoga cukup untuk menjadi teman batin, baik bagi yang sedang bersiap berhaji, maupun yang sedang menunggu panggilan itu datang.

Semoga kita semua diberi kesempatan untuk menjawab panggilan cinta dari langit, dengan hati yang bersih dan niat yang tulus. Dan semoga dari haji, lahir manusia-manusia baru yang bisa menjadi energi perubahan bagi bangsa ini: menjadi lebih jujur, lebih adil, lebih peduli.

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri

 

Editor : Alim Perdana