“Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pembunuhan harapan.”
(Sarah Chayes, Thieves of State, 2015)
INDONESIA kembali diguncang. Bukan oleh gempa bumi, tapi oleh berita yang mengguncang Nurani. Banyak diberitakan oleh media, seorang hakim, yang sejatinya adalah simbol keadilan, justru diduga menerima uang suap dalam jumlah fantastis, disimpan rapi dalam bentuk lembaran dolar di bawah kasurnya.
Total nilainya ditaksir mencapai Rp5,5 miliar. Hakim tersebut adalah AM, terlibat dalam kasus dugaan suap vonis bebas untuk tiga korporasi raksasa dalam perkara minyak goreng.
Uang itu diduga bagian dari total Rp22,5 miliar yang digelontorkan agar vonis lepas terhadap W Group, PH Group, dan MM bisa diketok dengan mulus oleh para “wakil Tuhan” di meja hijau.
Fenomena Lama, Simbol Keterpurukan Baru
Kejadian ini bukan yang pertama, tapi tetap menyakitkan. Dalam studi klasik Corruption and Government (Rose-Ackerman, 1999), disebutkan bahwa korupsi sistemik dalam lembaga peradilan adalah salah satu bentuk paling mematikan karena merusak akar keadilan dan menumbuhkan ketidakpercayaan publik secara mendalam.
Ketika pengadilan, tempat rakyat menggantungkan harapan terakhir akan keadilan, justru menjadi ladang transaksional, maka sebetulnya kita sedang berada di ambang krisis etika institusional.
Dalam sistem demokrasi, hakim memiliki kedudukan strategis sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak warga negara. Namun, kasus ini menunjukkan ironi yang tak terelakkan. Mereka para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum, justru memperjualbelikannya.
Tentu saja Kita tak bisa gegabah menggeneralisasi. Karena masih banyak hakim jujur dan bersih. Tapi satu kasus seperti ini sudah cukup merusak kepercayaan publik bertahun-tahun lamanya. Seperti kata Prof. Jimly Asshiddiqie (2014), “Ketika hakim mencederai integritasnya, maka seluruh bangunan negara hukum bisa runtuh perlahan.”
Tren Korupsi Masih Mengkhawatirkan
Jika kita periksa Laporan Transparency International (2024), maka kita akan menemukan bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia stagnan di angka 34 dari 100. Ini menunjukkan persepsi publik terhadap integritas sektor publik masih rendah, dan sistem hukum kita dianggap masih mudah dibeli.
Komisi Yudisial bahkan pernah mengungkapkan, bahwa pada tahun 2022, terdapat 116 laporan pelanggaran etik oleh hakim, yang sebagian besar terkait dengan konflik kepentingan dan gratifikasi. Ini bukan angka kecil untuk profesi yang menjadi benteng keadilan. Boleh dibilang angka yang fantastis.
Mengapa Korupsi Sulit Diberantas di Lembaga Peradilan?
Inilah pertanyaan yang perlu kita kaji: Mengapa korupsi di Lembaga Peradilan sulit diberantas? Dari perspektif akademik, kita bisa merujuk pada teori Principal-Agent Problem (Klitgaard, 1988), di mana korupsi muncul saat ada kekuasaan yang tinggi, diskresi yang luas, dan akuntabilitas yang lemah.
Teori ini lebih lanjut menyatakan bahwa Ketika seseorang diberikan kekuasaan, lalu ditambah dengan kewenangan diskresi, namun minus tanggung jawab maka di situlah korupsi terjadi. Teori ini membuat formula yang menarik yaitu C=M+D-A (Coruption = Monopoly + Discration – Accountability).
Hakim memiliki kekuasaan penuh atas putusan, baik kekuasaan monopoli maupun diskresi. Maka ketika sang hakim bermain-main dengan prinsip akuntabilitas, dan sistem pengawasan internal rapuh, pastilah peluang untuk penyimpangan menjadi sangat besar.
Ini juga ada hubungannya dengan mentalitas koruptif. Sesuatu yang tidak muncul tiba-tiba. Tetapi merupakan budaya yang dianggap biasa.
Mentalitas koruptif ini bisa jadi merupakan hasil dari kultur birokrasi yang permisif terhadap penyimpangan, permisif demi kolegial, dan ditambah dengan lemahnya pendidikan etika hukum, serta nihilnya keteladanan dari elite. Semua itu bisa menjadi lingkaran setan yang harus dihadapi jika kita menegakkan keadilan di Lembaga peradilan.
Solusi Strategis
Beberapa poin berikut ini adalah rumusan Solusi strategis yang layak dilaksanakan untuk memberantas mafia peradilan:
Pertama; Reformasi Rekrutmen dan Pembinaan Hakim: Sistem seleksi hakim harus diperketat dengan pendekatan multidimensi: akademik, psikologis, dan moralitas. Lembaga seperti MA dan KY harus memperkuat pendidikan etika, bukan hanya hukum prosedural.
Kedua; Transparansi dan Akuntabilitas Putusan: Setiap putusan penting harus tersedia secara terbuka untuk publik, termasuk catatan dissenting opinion (pendapat berbeda). Ini akan meminimalisasi ruang negosiasi di balik layar.
Ketiga; Digitalisasi Sistem Peradilan: Integrasi teknologi (e-Court, e-Litigasi, dan audit digital) adalah keniscayaan. Sistem digital menciptakan jejak audit yang tak bisa dimanipulasi.
Keempat; Keterlibatan Masyarakat Sipil dan Akademisi: Kampus dan organisasi sipil harus menjadi mitra kritis. Pendidikan antikorupsi harus dimulai dari ruang kelas, dan pengawasan peradilan tak boleh hanya dimonopoli oleh negara.
Kelima; Penegakan Hukum yang Konsisten dan Berani: Tidak boleh ada impunitas. Semua pelaku, siapa pun dia — jaksa, hakim, atau pejabat — harus dihukum secara setimpal. Seperti pesan Gus Dur: “Hukum harus tajam ke atas dan tajam ke bawah.”
Penutup
Kita tidak hanya kehilangan kepercayaan terhadap individu, tapi juga terhadap sistem. Maka, momentum ini harus menjadi panggilan nasional untuk membenahi sistem hukum secara menyeluruh. Jangan biarkan praktik korupsi menjadi biasa. Jangan pula kita terbiasa melihat uang di bawah kasur sebagai hal lumrah.
Sebagaimana diungkap oleh Prof. Robert Klitgaard, “Korupsi adalah kanker yang tumbuh diam-diam namun menghancurkan dari dalam.” Dan tugas kita sebagai bangsa adalah mencegah agar kanker itu tidak menyebar ke seluruh tubuh republik.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana