Umrah Mandiri Tanpa Bentuk: Antara Inovasi dan Pelanggaran Regulasi

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI

FENOMENA umrah mandiri hari ini telah melahirkan diskursus yang penting untuk dibahas secara jernih dan mendalam. Sebab, yang terjadi bukan sekadar kemandirian individu yang ingin beribadah ke Tanah Suci dengan mengurus segalanya sendiri.

Tetapi ternyata lebih dari itu. Istilah “mandiri” kini telah dibajak menjadi bungkus legalitas semu oleh sebagian oknum yang memasarkan perjalanan umrah secara tidak sah.

Mereka membuat leaflet, membuka pendaftaran, menyelenggarakan pelatihan, bahkan mengoordinasi keberangkatan jamaah, dan pastinya mereka tanpa badan hukum, tanpa izin resmi, dan tanpa mekanisme pertanggungjawaban sebagaimana yang diwajibkan oleh undang-undang.

Sementara itu, PPIU yang sah, yang taat membayar pajak, mengurus izin operasional, menggaji staf sesuai UMR, dan menyediakan perlindungan jamaah, justru harus bersaing dengan pihak-pihak tak berbentuk ini di medan yang tidak setara.

Keadilan usaha menjadi isu sentral di sini. Bagaimana mungkin usaha resmi yang tunduk pada regulasi negara justru dikalahkan oleh entitas tidak resmi yang bebas dari pajak, audit, akreditasi, maupun tanggung jawab hukum?

Regulasi kita sebetulnya sudah jelas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menyatakan bahwa penyelenggaraan umrah hanya bisa dilakukan oleh PPIU berbadan hukum berbentuk PT yang berizin resmi dari Kementerian Agama.

Namun yang perlu mendapat perhatian serius adalah informasi yang kini beredar mengenai rencana perubahan atas undang-undang tersebut, di mana disebut-sebut akan ada legalisasi konsep umrah mandiri dalam bentuk yang lebih longgar.

Jika ini benar, maka akan terjadi lompatan kebijakan yang penuh ambiguitas dan berpotensi mencederai keadilan bagi pelaku usaha yang telah patuh terhadap sistem.

Inilah titik kritisnya. Regulasi yang longgar atas nama fleksibilitas jamaah, justru bisa menghancurkan tatanan perlindungan jamaah dan kepastian hukum penyelenggara.

Negara tidak boleh bermain di dua kaki: satu sisi mewajibkan PPIU tunduk pada sistem yang rigid, tapi di sisi lain membiarkan entitas informal bebas bergerak tanpa akuntabilitas.

Kami di AMPHURI memandang bahwa tidak salah jika negara memberi ruang pada jamaah untuk lebih mandiri secara digital. Tapi ruang itu harus tetap dibingkai dengan tanggung jawab hukum yang adil.

Bila ada kebijakan baru, maka harus dipastikan bahwa kebijakan atau regulasi baru tersebut tidak mencederai prinsip kemaslahatan, keadilan, dan perlindungan umat. Bukan sekadar “membuka pasar” tanpa membangun pagar.

Kami menyerukan agar revisi undang-undang ini dikaji ulang secara terbuka, transparan, dan melibatkan pelaku usaha resmi sebagai bagian dari ekosistem. Jika umrah mandiri hendak dilegalkan, maka harus ada:

1. Batasan jelas antara kemandirian jamaah dan praktik usaha ilegal,
2. Mekanisme pengawasan dan perlindungan jamaah,
3. Kewajiban minimal yang harus dipenuhi oleh entitas informal jika mereka mulai bertindak seperti penyelenggara.

Mukernas AMPHURI 2025 harus menjadi forum strategis untuk menyuarakan hal ini secara lugas dan terukur. Kita bukan sedang melawan perubahan, tetapi ingin memastikan tidak ada pelaku resmi yang dikorbankan atas nama fleksibilitas, dan tidak ada jamaah yang dikorbankan atas nama efisiensi.

Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil-ardhi walaa fissamaa-i wa Huwas-Samii’ul-‘Aliim. Dengan menyebut nama Allah yang dengan nama-Nya tidak ada satu pun yang membahayakan di bumi maupun di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dengan tekad seribu persen, mari kita kawal kebijakan ini bersama. Kita percaya, bahwa inovasi tetap harus berada dalam pagar syariah dan regulasi yang adil. Yang sah harus dijaga, yang menyesatkan harus dihentikan, dan yang abu-abu harus diterangkan.

Bagaimana pendapat Anda?

Editor : Alim Perdana