"Dirjen" pada Akhirnya?

Oleh: Ali Masduki
Jurnalis Ayojatim.com

"DIRJEN" Limas belas tahun lalu sempat populer dilingkungan wartawan Surabaya. Kala itu saya  masih bekerja untuk media komunitas 'Nahdliyin' Harian Duta Masyarakat, yang saat ini sudah berubah segmen pasar, pembaca umum. Harap maklum, wartawan baru masih lugu.

Pada suatu momen liputan, salah satu senior wartawan yang bekerja di media besar bilang, "Iku wartawan Dirjen". Apa itu? Dirjen rupanya bukan jabatan yang saat ini banyak direbutkan oleh para relawan politik. Namun kependekan dari "Direktur Ijen".

Ya, saya pun menganggukkan kepala.  "Owalah". Apa bedanya dengan sebutan wartawan bodrek? Senior bilang "Sewelas rolas". Tapi Dirjen lebih terhormat, karena hasil liputan pasti rilis di medianya. Kalau wartawan bodrek? Mereka datang liputan, minta obat sakit kepala, tapi gak ada karya yang dibagikan ke publik. Hanya bermodal keplek, tanpa surat kabar. Banyak yang menyebut WTS atau Wartawan Tanpa Surat Kabar.

Lantas bagaimana Dirjen? Namanya saja direktur ijen. Ia mendirikan media sendiri, liputan sendiri, nulis sendiri, ditayangkan sendiri. Produk jurnalistik diunggah tanpa harus melalui ketatnya dapur redaksi. Berkualitas? Itu tergantung si Dirjen.

Itulah kenapa kata "Dirjen" saat itu (kejayaan bisnis media) menjadi semacam cibiran dalam tanda kutip. Entah ada rasa iri lantaran wartawan (buruh media) gak bisa memastikan hasil liputan ditayangkan, atau si Dirjen dianggap kurang profesional.

Namun seiring perkembangan teknologi, rupanya media mengalami senjakala. Koran, majalah, televisi, yang dulunya digdaya, terpaksa merumahkan ribuan karyawan, termasuk wartawan. Media online pun tumbuh pesat. Begitu mudahnya mendirikan industri pers (daring).

Mereka (wartawan) yang ter PHK akhirnya memilih untuk membuka kanal-kanal baru. Ada yang mandiri, ada pula yang mendapat suntikan modal. Para veteran itupun beradu nasib dengan beragam identitas. Coba berselancar di google, atau mesin pencari di penyedia domain hosting. Tulis nama apa saja yang bertautan dengan istilah jurnalistik, bisa jadi  semua nama sudah terbeli.

Fenomena itu mengingatkan saya pada memori 15 tahun lalu, "Dirjen". Alhasil, sebutan untuk mencibir itupun, sekarang berubah, "lumrah". Karena pada akhirnya kita yang tetap memilih jalan ini (wartawan) juga masuk dalam arus "DIRJEN".

Selamat akhir pekan!

Bersambung.....

Editor : Alim Perdana