Menakar Ulang Peran Penyelenggara Haji-Umrah di Tengah Gelombang Perubahan

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur

TIDAK pernah sebelumnya dunia berubah secepat hari ini. Revolusi digital, kebijakan baru dari negara pengirim dan negara tujuan, hingga lahirnya perilaku baru masyarakat membuat sektor pelayanan ibadah haji dan umrah kini berada di persimpangan zaman.

Penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah (PPIU dan PIHK) tidak hanya dituntut untuk bertahan, tetapi juga harus mampu bertransformasi secara visi, cara kerja, hingga model bisnis.

Di sinilah tantangan sekaligus peluang itu bertemu. Dan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) AMPHURI yang akan digelar pada 20 Juli 2025 mendatang di Yogyakarta, saya pandang sebagai momentum strategis untuk menata ulang arah pelayanan jamaah.

Mukernas bukan cuma forum administratif organisasi, tetapi sebuah ijtihad kolektif yang harus mampu membaca zaman dan meresponsnya dengan solusi yang aplikatif dan maslahat.

Sebagai Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI, saya memandang perlu adanya ikhtiar intelektual dan praktikal secara bersamaan.

Oleh karena itu, mulai hari ini saya akan menurunkan tulisan-tulisan berseri sebagai bagian dari Kajian Strategis Menuju Mukernas AMPHURI 2025.

Kajian ini bertujuan untuk membuka ruang dialog luas di kalangan penyelenggara, pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas—bahwa pelayanan ibadah tidak bisa dikerjakan dengan kacamata sempit.

Sektor haji dan umrah kini menghadapi sejumlah tantangan besar yang tidak bisa dihindari. Pertama, revolusi Artificial Intelligence (AI) yang mulai masuk ke dunia travel dan layanan keagamaan.

Beberapa negara dan perusahaan besar sudah menggunakan AI sebagai asisten digital untuk edukasi ibadah, sistem reservasi, hingga pemantauan jamaah. Ini adalah peluang luar biasa, tetapi juga ancaman serius bagi penyelenggara yang tak siap.

Kedua, munculnya fenomena umrah mandiri yang memicu dinamika baru. Jamaah kini merasa bisa mengurus segalanya sendiri lewat aplikasi seperti Nusuk, tanpa perlu pendampingan resmi. Lalu, bagaimana posisi PPIU di tengah fenomena ini? Haruskah dilawan, disesuaikan, atau dijadikan bagian dari solusi?

Ketiga, perubahan regulasi baik dari Pemerintah Indonesia maupun dari Kerajaan Arab Saudi. Kita tahu, beberapa tahun terakhir banyak sekali penyesuaian aturan, mulai dari sistem kuota, visa, digitalisasi proses administrasi, hingga pengetatan prosedur keamanan. Tanpa kemampuan membaca arah regulasi ini secara jernih, kita bisa terseret arus kebijakan tanpa sempat menyiapkan perahu.

Keempat, persoalan kualitas pembinaan dan perlindungan jamaah. Manasik yang dangkal, bimbingan yang terburu-buru, dan pendampingan spiritual yang kurang personal masih menjadi keluhan sebagian jamaah. Belum lagi soal refund, penundaan keberangkatan, dan berbagai sengketa pelayanan yang masih sering muncul. Ini PR serius bagi kita semua.

Kelima, kebutuhan untuk membangun model bisnis baru yang tidak hanya mengandalkan paket reguler, tapi juga menjawab kebutuhan jamaah milenial dan kelas menengah muslim yang semakin teredukasi, melek digital, dan punya ekspektasi tinggi terhadap kualitas pelayanan.

Tulisan berseri ini nantinya akan mengupas satu demi satu isu-isu di atas. Saya akan bahas secara populer, ringan dibaca, namun tetap berbasis data dan pengalaman lapangan.

Harapannya, serial ini dapat menjadi pemantik diskusi internal AMPHURI maupun referensi eksternal bagi para pemangku kepentingan di sektor haji dan umrah.

Beberapa judul tulisan ke depan yang akan saya turunkan antara lain:

• “Ketika AI Masuk ke Masjidil Haram: Siapkah Kita?”
• “Umrah Mandiri: Bebas Tapi Berisiko?”
• “Peta Baru Regulasi: Mengapa PPIU Harus Belajar Politik Kebijakan”
• “Digitalisasi Saudi dan Nasib Penyelenggara Lokal”
• “Bukan Sekadar Travel: Membangun Pelayanan Jamaah Berbasis Misi Dakwah”

Saya mengajak semua pihak (anggota AMPHURI, regulator, pengamat kebijakan publik, pelaku industri digital, bahkan calon jamaah) untuk mengikuti kajian ini. Mari kita songsong Mukernas AMPHURI 2025 dengan semangat perubahan yang tidak hanya responsif, tetapi juga visioner.

Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil-ardhi walaa fissamaa-i wa Huwas-Samii’ul-‘Aliim. Dengan menyebut nama Allah yang tak ada sesuatu pun membahayakan bersama nama-Nya di bumi maupun di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dengan optimisme seribu persen, tekad yang bulat, dan niat yang lurus, saya yakin: pelayanan jamaah haji dan umrah Indonesia bisa menjadi yang terbaik di dunia. Bukan sekadar mimpi, tapi cita-cita yang bisa dicapai asal kita mau belajar, berbenah, dan bergerak bersama.

 

Editor : Alim Perdana