Kampus dan TNI, Sinergi atau Intervensi?

Sidang akbar mahasiswa di auditorium Widya Sabha Unud. Foto: Balebengong
Sidang akbar mahasiswa di auditorium Widya Sabha Unud. Foto: Balebengong

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

SEBAGAI Ketua ICMI Jawa Timur, saya merasa perlu menyuarakan pikiran dan kegelisahan tentang relasi antara kampus dan TNI, yang kembali menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Itulah salah satu alasan mengapa saya menulis ini?

Yaitu karena saya tidak ingin melihat bangsa ini gaduh karena adanya pemaksaan kehendak, baik itu kehendak politik, institusional, atau bahkan ideologis, yang dikemas seolah-olah atas nama kepentingan negara. Kita tidak boleh gegabah menyikapi isu penting seperti ini.

Karena jika keliru, bukan hanya kebebasan akademik yang terancam, tapi juga kualitas demokrasi kita secara keseluruhan.

Saya tidak menuduh siapa pun. Tapi saya ingin mengajak berpikir jernih. Mari kita lihat sejarah, kita pahami fungsi masing-masing institusi, dan kita analisis secara dewasa. Agar tidak ada kecurigaan yang berlebihan, tapi juga tidak ada pembiaran yang membahayakan.

Spanduk Itu Bersuara

Spanduk itu sederhana. Tapi maknanya dalam: “Udayana Bukan Barak.”

Sebuah ekspresi penolakan mahasiswa Universitas Udayana terhadap kerja sama kampusnya dengan TNI AD. Sebagian menyebutnya reaktif. Tapi bagi yang membaca sejarah, ini alarm.

Kampus dan militer memang pernah berjalan “bersama”, tapi bukan dalam makna kolaborasi, melainkan dominasi. Di masa Orde Baru, kampus adalah salah satu wilayah paling dikontrol. Organisasi ekstra, gerakan mahasiswa, bahkan forum diskusi dipantau oleh intel.

Beberapa aktivis bahkan harus “menghilang” karena berbeda pendapat. Reformasi 1998 mengembalikan napas kampus. TNI pun telah kembali ke barak. Tapi hari ini, dengan dalih kerja sama strategis, kita melihat ada sinyal “kembalinya” institusi militer ke ranah sipil.

Dua Dunia yang Sangat Berbeda
TNI dibentuk dengan budaya komando dan ketaatan. Itu bukan salah, karena memang untuk itulah militer diciptakan, yaitu untuk melindungi kedaulatan. Tapi kampus dibangun dari logika kebebasan berpikir. Dari debat. Dari pertanyaan. Kampus tak mungkin tumbuh dalam ketakutan atau kontrol.

Memang harus diakui bahwa di satu sisi, TNI bisa berbagi wawasan tentang pertahanan, kedisiplinan, dan bela negara terhadap masyarakat kampus. Tapi di sisi lain, jika TNI masuk terlalu dalam ke dunia akademik, mereka (TNI) bisa menjadi bayang-bayang yang menghambat pertumbuhan kebebasan ilmiah. Ini yang perlu disadari bersama.

Untung dan Rugi

Kerja sama bukan hal tabu. Bahkan bisa positif, asal jelas tujuannya dan tidak melewati garis merah. Mari kita mengkalkulasi untung rugi jika dilakukan Kerjasama antara Kampus dan TNI.

Keuntungannya: mahasiswa bisa belajar cinta tanah air dari sumber primer, pertukaran wawasan teknologi militer, penguatan karakter bangsa. Risikonya: dikhawatirkan kampus menjadi tidak netral, ruang akademik direpresi, dan potensi kontrol terhadap suara-suara kritis meningkat.

Kita perlu mengingat satu hal penting: fungsi kampus bukan mencetak barisan, tapi mencetak pikiran. Dan mahasiswa bukanlah prajurit, mereka adalah agen perubahan yang pikirannya bebas, suaranya merdeka, dan keberaniannya lahir dari kejujuran intelektual.

Kolaborasi, Bukan Konfrontasi

Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya ingin menegaskan bahwa ICMI siap hadir dalam ruang diskusi membahas tuntas dan bijaksana perihal isu ini, bukan sebagai pihak yang menghakimi, tetapi sebagai jembatan.

ICMI siap menjadi penengah, fasilitator, dan kontributor dalam upaya membangun sinergi antara TNI dan kampus secara sehat dan bermartabat. Dengan tetap menjaga dan menghormati posisi dan peran penting masing-masing, yang pasti berbeeda, dalam harmoni demokrasi.

Kita tidak boleh dipecah oleh prasangka. Kita tidak boleh dihasut untuk saling curiga. Kita harus tetap merawat kolaborasi dalam keberagaman peran dan keberagaman institusi. Dengan tetap satu tujuan: Indonesia bermartabat.

Menuju Indonesia Emas 2045, kita butuh sinergi antara kekuatan intelektual dan kekuatan pertahanan. Tapi sinergi yang sehat, bukan dominasi. Kolaborasi yang adil, bukan intervensi.

Mengapa? Karena bangsa ini hanya bisa besar jika semua elemen, dari kampus sampai barak, dari guru besar sampai jenderal, berjalan dalam harmoni. Dengan satu arah: membangun Indonesia hebat.

Editor : Alim Perdana