BEBERAPA hari terakhir, pernyataan Donald Trump kembali menjadi pusat perhatian publik, khususnya dunia pendidikan. Melalui platform media sosial miliknya, Truth Social, Trump melontarkan kritik keras terhadap Universitas Harvard—salah satu lembaga pendidikan tinggi paling bergengsi di dunia. Ia menyebut Harvard telah "kehilangan arah" dan "mengajarkan kebencian".
Tak hanya itu, Trump bahkan menyerukan agar dana federal untuk Harvard dicabut serta menyeret lembaga pendidikan tersebut ke dalam narasi politik yang semakin polar.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Dan bagaimana seharusnya kita memandang relasi antara dunia pendidikan dengan dinamika politik seperti ini?
Universitas dan Kebebasan Akademik
Sejak lama, perguruan tinggi dianggap sebagai pilar penting dalam menjaga nalar kritis masyarakat. Di ruang-ruang kuliah dan riset, mahasiswa dan dosen belajar mempertanyakan, menguji, dan mengeksplorasi ide tanpa harus takut pada tekanan politik atau komersial. Di sinilah kebebasan akademik menjadi nyawa utama.
Pernyataan Trump terhadap Harvard bukan semata kritik terhadap kebijakan kampus, tetapi lebih dari itu, berpotensi mencederai prinsip dasar pendidikan tinggi yang bebas dari intervensi politik.
Ketika pemerintah mulai mengancam dana pendidikan karena tidak sejalan secara ideologis, maka yang terancam bukan hanya satu universitas, tapi juga masa depan intelektualitas bangsa.
Politik Identitas di Kampus
Pernyataan Trump muncul di tengah situasi memanasnya sentimen terhadap protes mahasiswa pro Palestina yang terjadi di beberapa kampus Amerika, termasuk Harvard. Mahasiswa yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina dituding memicu sentimen antisemit, sementara pihak kampus dinilai kurang tegas dalam mengatur dinamika tersebut.
Isu ini memperlihatkan betapa ruang akademik tidak steril dari konflik identitas yang berkembang dalam masyarakat luas. Namun cara menyelesaikannya bukan dengan cara represif—apalagi melalui pemotongan anggaran atau ancaman pencabutan status pajak—melainkan melalui pendekatan dialog, edukasi, dan keterbukaan.
Indonesia Perlu Belajar
Sebagai negara dengan ratusan perguruan tinggi, Indonesia juga memiliki tantangan serupa dalam menjaga otonomi kampus. Campur tangan politik dalam urusan akademik sering kali muncul secara halus, misalnya melalui intervensi kurikulum, pembatasan kegiatan mahasiswa, atau penempatan pejabat kampus atas dasar afiliasi.
Pelajaran dari kisruh antara Trump dan Harvard adalah pentingnya menjaga batas antara otoritas politik dan ranah akademik. Jika kita ingin membangun generasi kritis, toleran, dan adaptif terhadap perubahan global, maka kampus harus dibiarkan menjadi laboratorium kebebasan berpikir, bukan menjadi corong satu narasi tunggal.
Penutup
Pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang sebuah bangsa. Ketika kampus kehilangan kebebasannya, maka sesungguhnya kita sedang menggadaikan masa depan sains, budaya, dan demokrasi kita.
Trump boleh saja tidak sependapat dengan isi ruang kuliah Harvard, tetapi memukul institusi pendidikan dengan palu kekuasaan hanya akan memperlihatkan satu hal: bahwa kekuasaan tanpa kebijaksanaan adalah ancaman bagi peradaban.
Oleh: Ulul Albab
Akademisi, Mantan Rektor Unitomo
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana