BEBERAPA waktu terakhir, pembelian emas batangan di berbagai daerah melonjak drastis. Bahkan di Malang, toko-toko emas terkemuka seperti Bulan Purnama memberlakukan sistem inden dengan DP 50%, dan pelunasan menunggu kedatangan stok yang terbatas.
Lebih menarik lagi, sistem jastip (jasa titip) yang biasanya marak dalam pembelian produk mahal pun tidak dilayani demi keadilan distribusi. Ini bukan hanya fenomena ekonomi. Ini adalah sinyal sosial.
Emas: Lebih dari Investasi, Tapi Simbol Kepercayaan
Secara ekonomi, emas dikenal sebagai safe haven asset, aset penyelamat dalam situasi ketidakpastian. Dalam banyak literatur, seperti yang dikemukakan oleh Baur dan Lucey (2010), emas menjadi pilihan utama saat pasar keuangan tidak stabil, inflasi tinggi, atau saat nilai mata uang melemah.
Maka tidak heran, ketika masyarakat berbondong-bondong membeli emas di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu dan gejolak politik dalam negeri, ada pesan yang lebih dalam: rakyat mencari pegangan.
Sebagaimana disampaikan oleh Argo, perwakilan toko emas Bulan Purnama di Pasar Besar Malang, pembelian logam mulia meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Konsumen berasal dari berbagai kalangan, dari ibu rumah tangga hingga pekerja kantoran, dari pembeli kecil hingga borongan puluhan gram.
Sebagian besar dari mereka mengatakan, “daripada uangnya habis untuk belanja, mending dibelikan emas.”
Artinya, emas tidak hanya menjadi instrumen lindung nilai, tetapi juga cara mengamankan moral finansial, agar tak tergoda konsumsi sesaat.
Lonjakan Permintaan: Sinyal Rasa Tidak Aman?
Jika fenomena ini dibaca dengan pendekatan sosiologis, tingginya minat terhadap emas mencerminkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap stabilitas sistem ekonomi jangka panjang.
Mengutip Teori Psikologi Ekonomi (Thaler & Sunstein, 2008), perilaku investasi yang impulsif bisa jadi bentuk nudge behavior—respon psikologis akibat ketidakpastian yang tak tertangani oleh kebijakan publik yang meyakinkan.
Ketiadaan stok emas pecahan kecil, sistem inden berbulan-bulan, dan pembatasan jalur cepat adalah refleksi betapa besarnya tekanan permintaan. Bahkan sebelum isu ini viral di media sosial, toko-toko emas sudah sering kehabisan barang.
Emas dan Mentalitas Perencanaan
Namun dari sisi lain, fenomena ini bisa dibaca secara positif. Rakyat mulai memiliki kesadaran perencanaan jangka panjang. Mereka menukar uang tunai (yang mudah tergoda konsumsi) dengan bentuk fisik bernilai tetap. Ini adalah literasi finansial yang tumbuh secara alami dari pengalaman hidup.
Menurut survei Bareksa (2023), lebih dari 40% generasi milenial dan Gen Z di Indonesia kini menjadikan emas sebagai instrumen investasi favorit karena likuid, stabil, dan terjangkau. Edukasi digital turut mendorong pergeseran gaya hidup ke arah produktif dan berorientasi masa depan.
Pemerintah dan Otoritas: Menjawab dengan Tindakan
Peningkatan minat terhadap emas ini juga merupakan isyarat yang harus dijawab oleh pemerintah. Ketika masyarakat memilih menyimpan emas, bisa jadi mereka sedang mengatakan: “Kami ragu pada stabilitas jangka panjang sistem.”
Maka tugas negara bukan sekadar menjaga harga emas, melainkan memulihkan rasa percaya. Kebijakan fiskal dan moneter yang transparan, penguatan sektor riil, pemberantasan korupsi yang nyata, dan keterbukaan terhadap kritik semuanya adalah cara menyapa kekhawatiran publik.
Pesan Moral dari Emas
Emas adalah simbol nilai. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin psikologi masyarakat. Ketika mereka membeli emas, mereka sedang berusaha menjaga nilai dalam hidup mereka: nilai kestabilan, nilai kerja keras, nilai menabung, dan harapan pada masa depan.
Dan di sinilah kita belajar bahwa logam mulia tak sekadar benda mati. Ia adalah bahasa diam masyarakat dalam menagih janji kesejahteraan.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Editor : Alim Perdana