JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHAP). Namun, beberapa pasal dalam rancangan tersebut menuai kritik dari kalangan advokat, terutama Pasal 142 ayat (3) huruf b dan Pasal 253 ayat (3) dan (4).
Pasal 142 ayat (3) huruf b menyatakan, “Advokat dilarang memberikan pendapat di luar pengadilan terkait permasalahan kliennya.” Sementara itu, Pasal 253 ayat (3) dan (4) berbunyi, “Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,” dan “Pelanggaran tata tertib tersebut dapat dikenai tindak pidana berdasarkan undang-undang.”
Menanggapi hal tersebut, advokat senior C Suhadi menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut dinilai membelenggu kebebasan berekspresi seorang advokat.
“Saya berpikir ini sudah membelenggu kebebasan berekspresi seorang advokat. Advokat diberikan kebebasan dalam memberikan pendapat dan analisis hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Akan menjadi aneh apabila advokat dilarang membuka apa saja yang sudah dilakukan dalam ruang pengadilan. Itu tidak masuk akal,” ujar Suhadi di Jakarta, Sabtu (22/3/2025).
Suhadi memberikan contoh kasus di mana klien seorang advokat diduga diperlakukan tidak adil dalam persidangan.
“Kalau klien kita dibantai atau ‘dihabisi’ di ruang sidang karena ada dugaan hakim dan jaksa bersekongkol untuk memenjarakan klien kita yang berasal dari kalangan tidak mampu, lalu kita tidak boleh mengungkapkannya di luar ruang sidang? Padahal, hakim dan jaksa dalam persidangan telah melanggar hukum. Apakah kita harus diam saja? Termasuk tidak boleh membuat laporan atas pelanggaran hakim dan jaksa nakal? Kacau dong negara ini,” sergahnya.
Ancaman terhadap Kebebasan Profesi Advokat
Suhadi menegaskan bahwa pasal-pasal tersebut akan membelenggu kebebasan profesi advokat. “Kalau sudah demikian, habislah kebebasan seorang advokat," ucapnya.
"Secara tidak langsung, advokat telah dibelenggu oleh suatu keadaan yang menurut saya melanggar hak asasi terkait profesi. Apalagi ada adagium, ‘Walaupun langit akan runtuh, keadilan harus ditegakkan.’ Artinya, di sini ada kebebasan berekspresi sepanjang tidak melanggar aturan hukum yang berlaku,” sambungnya.
Ia menjelaskan bahwa aturan hukum yang berlaku sudah cukup untuk mengatur advokat tanpa perlu pasal-pasal yang membatasi.
“Misalnya, tidak boleh menghina pengadilan, seperti mengatakan pengadilan korupsi, hakim kurang ajar, atau hakim berpihak tanpa bukti yang kuat. Kami yang senior sudah paham. Itu namanya contempt of court (menghina pengadilan),” tuturnya.
Suhadi memberikan masukan kepada DPR, khususnya Komisi III, untuk fokus memperbaiki lembaga peradilan daripada membatasi peran advokat.
“Kalau mau dibenahi, bukan advokatnya yang dibatasi, tapi lembaga pengadilan yang sudah memprihatinkan. Penegakan hukum sangat timpang, apalagi bagi orang kecil. Sulit mendapat keadilan. Menurut saya, harus ada lembaga pengawas yang kuat,” ujarnya.
“Benahi Komisi Yudisial (KY), benahi lembaga pengawasan. Supaya hakim-hakim takut jika mengadili perkara tidak sesuai hukum. Jangan advokat yang sudah lemah, dibikin lemah lagi,” pintanya.
Suhadi menilai, perumusan RUU KUHAP ini berbahaya karena mungkin tidak melibatkan ahli hukum sepenuhnya. Menurutnya, RUU ini sangat berbahaya bagi advokat.
"Mungkin anggota dewan yang merumuskannya tidak semuanya pengacara atau sarjana hukum. Ada insinyur juga di Komisi III. Ini yang membahayakan, mereka tidak mengerti, hanya melihat kepentingan untuk membelenggu peran advokat,” tegasnya.
Ia bahkan menyatakan akan menggugat RUU tersebut jika diundangkan. “Jujur, kalau ini diundangkan, saya akan gugat ke pengadilan, termasuk DPR-nya. Karena ini tidak tepat dan akan membelenggu kebebasan advokat,” pungkas relawan Prabowo-Gibran tersebut.
Editor : Alim Perdana