SURABAYA – Penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5% pada 18 Maret 2025 yang memicu trading halt menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.
Wakil Dekan Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr. Muhammad Saiful Hakim, SE, MM, PhD, menilai bahwa penurunan ini bukan hanya kejutan bagi pasar, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Saiful, IHSG merupakan indikator penting bagi stabilitas ekonomi nasional karena mencerminkan kepercayaan investor terhadap pasar modal.
“Jika indeks turun tajam, perusahaan akan kesulitan memperoleh pendanaan untuk ekspansi bisnis, sementara investor menjadi lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya,” ujar Saiful, yang juga merupakan peneliti di bidang Manajemen Keuangan.
Penurunan IHSG tidak hanya memengaruhi pasar modal, tetapi juga berdampak pada stabilitas ekonomi nasional. Saiful menjelaskan bahwa capital outflow dalam jumlah besar meningkatkan permintaan terhadap dolar AS, yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah.
“Jika tekanan ini terus berlanjut, daya beli masyarakat bisa ikut terdampak,” tambahnya.
Selain itu, ketidakstabilan pasar modal juga berimbas pada sektor riil, terutama dalam hal investasi. Perusahaan yang kesulitan mendapatkan pendanaan cenderung menunda ekspansi bisnis.
“Jika kondisi ini terus berlanjut, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat meningkat, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi,” papar Saiful.
Saiful menjelaskan bahwa penurunan IHSG kali ini dipengaruhi oleh faktor domestik dan global. Salah satu pemicunya adalah penurunan peringkat investasi Indonesia oleh Goldman Sachs.
“Kondisi ini membuat investor asing mengurangi eksposur di pasar modal Indonesia, memicu aksi jual saham dalam jumlah besar yang semakin menekan IHSG,” jelasnya.
Selain itu, isu pergantian Menteri Keuangan RI turut memperburuk sentimen pasar. Ketidakseimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga menambah kekhawatiran investor. “Sebagian besar aksi jual dilakukan oleh investor asing,” tambah Saiful prihatin.
Sebagai langkah mitigasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menerapkan kebijakan buyback saham tanpa izin pemegang saham, yang memungkinkan perusahaan membeli kembali sahamnya untuk menjaga stabilitas harga.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan kebijakan fiskal yang lebih meyakinkan agar kepercayaan investor tetap terjaga.
Saiful menyarankan agar investor menyesuaikan keputusan jual atau tahan saham dengan tujuan keuangan masing-masing.
“Jika investasi bersifat jangka panjang, mempertahankan saham bisa menjadi pilihan lebih baik. Namun, bagi yang membutuhkan dana dalam waktu dekat, menjual dengan risiko kerugian perlu dipertimbangkan,” ujarnya.
Dalam beberapa bulan ke depan, prospek pemulihan IHSG masih bergantung pada respons investor asing terhadap kondisi ekonomi global dan kebijakan pemerintah.
Saiful menilai, kepastian dalam kebijakan fiskal dan regulasi pasar menjadi faktor utama dalam menarik kembali modal yang keluar.
“Jika kondisi fiskal dan regulasi pasar dapat memberikan kepastian, arus modal asing bisa kembali, dan IHSG berangsur pulih,” tutupnya optimistis.
Editor : Alim Perdana