Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
ISU Umrah Mandiri tak henti-hentinya mengemuka, bahkan semakin ramai dan runyam, setelah UU No 14/2025 diterbitkan dan sejumlah pihak membahasnya dari perspektif kepentingan masing-masing.
Salah satu diskusi publik yang menarik bertema “Pro dan Kontra Umrah Mandiri”, sebuah topik yang memang penting dan memerlukan penjelasan jernih.
Sebab polemik di sektor ini bukan semata persoalan bisnis atau perizinan, tetapi menyangkut struktur tata kelola ibadah, perlindungan jemaah, dan masa depan ekosistem perjalanan keagamaan Indonesia.
Tulisan ini saya maksudkan untuk menjadi pengantar diskusi perihal tersebut, agar diskusi publik tidak berhenti pada perdebatan emosional.
Kita perlu memetakan alasan-alasan pro dan kontra dengan bahasa yang proporsional, berdasarkan sudut pandang kebijakan publik, serta mengacu pada dinamika regulasi nasional dan global.
Argumen Kelompok Pro Umrah Mandiri:
Kelompok yang mendukung Umrah Mandiri biasanya menyampaikan setidaknya tiga alasan kuat.
1. Kebebasan memilih (consumer sovereignty)
Masyarakat ingin lebih bebas menentukan cara bepergian, terutama generasi yang semakin terbiasa mengatur perjalanan secara digital.
Dengan Umrah Mandiri, jemaah dapat memilih penyedia layanan yang dianggap paling sesuai baik dari sisi harga, waktu, maupun preferensi pribadi.
2. Efisiensi dan kompetisi harga
Pendukung Umrah Mandiri percaya bahwa membuka ruang kompetisi dapat menekan biaya perjalanan. Marketplace global, agen internasional, dan berbagai penyedia digital mampu menawarkan harga lebih kompetitif.
Dari sudut tertentu, hal ini dianggap dapat memberi manfaat bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
3. Akselerasi digitalisasi industri
Adanya pilihan Umrah Mandiri mendorong PPIU beradaptasi lebih cepat, masuk ke ekosistem digital, dan meningkatkan standar layanan. Dengan kehadiran kompetitor global, industri dianggap akan terpicu melakukan inovasi.
Argumen-argumen ini memiliki dasar yang sah dan relevan dalam konteks ekonomi digital yang terus berkembang. Namun untuk memahami keseluruhan gambarnya, kita juga harus mencermati sisi lain dari dinamika ini.
Argumen Kelompok Kontra:
Kelompok yang menolak atau mengkritisi Umrah Mandiri tidak menolak inovasi. Kekhawatiran mereka lebih menyasar aspek keselamatan, tata kelola, dan kelangsungan ekosistem nasional.
1. Minimnya perlindungan jemaah
UU No. 14/2025 sempat mengurangi cakupan perlindungan bagi jemaah mandiri, sehingga potensi risiko meningkat: mulai dari pelayanan hotel, transportasi, kegagalan keberangkatan, hingga penipuan lintas batas.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa perjalanan ibadah tanpa pendampingan rentan menimbulkan masalah.
2. Hilangnya mekanisme pendampingan
PPIU selama ini bukan hanya menjual paket perjalanan, tetapi juga memberikan bimbingan ibadah, pengaturan agenda, dan pendampingan di Tanah Suci.
Elemen ini tidak dapat digantikan oleh aplikasi digital. Ketika Umrah Mandiri meluas, sebagian jemaah berpotensi kehilangan pendampingan yang mereka butuhkan.
3. Ancaman dominasi marketplace internasional
Ini isu yang jarang dibahas secara mendalam. Dengan Umrah Mandiri, pintu masuk bagi marketplace global terbuka lebar.
Platform internasional yang bermodal besar dapat menawarkan harga agresif (bahkan subsidi), menyalip pelaku lokal, dan mendominasi pasar.
Polanya sudah berulang di sektor transportasi, hotel, dan retail. Jika terjadi di sektor umrah, ribuan pelaku usaha lokal berpotensi terdampak.
4. Ketidakseimbangan regulasi
Marketplace global tidak tunduk pada kerangka pengawasan yang sama dengan PPIU. Mereka tidak harus membuka kantor perwakilan, mengikuti audit layanan, atau menanggung tanggung jawab sosial. Ketidakseimbangan ini berpotensi menciptakan pasar yang tidak adil.
5. Kerentanan data jemaah
Pengelolaan data personal jemaah oleh platform asing menimbulkan isu kedaulatan digital. Data perjalanan ibadah adalah data sensitif yang seharusnya berada dalam kontrol negara.
Argumen kontra ini bukan berarti menolak Umrah Mandiri secara total, tetapi meminta adanya pagar tata kelola yang lebih kuat dan tidak dapat ditawar.
Regulasi: Menata di Hilir, Mengabaikan di Hulu
Terbitnya PMHU No. 4 Tahun 2025 merupakan upaya pemerintah menambal kekurangan teknis dari UU 14/2025, terutama terkait perlindungan jemaah.
Namun sebagai peraturan menteri, ruang lingkupnya terbatas. Permen dapat mengatur pendaftaran, pelaporan, dan verifikasi, tetapi tidak mampu mengatur struktur pasar atau membatasi dominasi pelaku global.
Dengan kata lain, regulasi teknis telah diperbaiki, tetapi fondasi hukumnya masih lemah. Di sinilah pentingnya mengkaji ulang UU di tingkat yang lebih fundamental melalui pendekatan evaluasi kebijakan ataupun Judicial Review.
Titik Temu:
Perdebatan Umrah Mandiri tidak boleh berhenti pada dikotomi “pro” dan “kontra”. Keduanya memiliki dasar argumentasi yang sah. Tugas negara adalah menjembatani keduanya melalui kerangka regulasi yang berimbang:
1. memberi ruang pilihan dan inovasi,
2. menjamin perlindungan jemaah,
3. memastikan persaingan usaha yang sehat,
4. mencegah dominasi platform besar,
5. melindungi keberlanjutan pelaku lokal,
6. dan menjaga kedaulatan data serta pelayanan ibadah.
Negara tidak boleh hanya hadir di hilir ketika masalah muncul. Negara harus hadir sejak hulu di struktur norma, di desain pasar, dan di pengaturan peran semua aktor.
Dengan begitu, Umrah Mandiri dapat berjalan sebagai pilihan yang aman, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Editor : Alim Perdana