Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang DPP Amphuri
PERTANYAAN “apakah judicial review (JR) terhadap UU 14/2025 masih relevan setelah terbitnya Kepmen” sesungguhnya menyimpan ironi yang menarik.
Banyak yang tergesa menyimpulkan bahwa keluarnya Kepmen otomatis meredakan pertarungan wacana seputar Umrah Mandiri.
Padahal jika dibaca secara lebih jernih, Kepmen justru menunjukkan bahwa negara sedang menambal sesuatu yang keliru di tingkat undang-undang.
Dalam logika kebijakan publik, ketika regulasi tingkat menteri harus menutupi lubang yang dibuat oleh undang-undang, maka problem sesungguhnya bukan pada teknis pelaksanaan, tetapi pada arsitektur norma. Dan arsitektur norma hanya dapat dikoreksi melalui JR.
Kekhawatiran awal yang mendorong AMPHURI dan PPIU mengajukan JR bukanlah kekhawatiran emosional ataupun proteksionisme pasar.
Ia berangkat dari observasi objektif terhadap pola disrupsi global yang telah berkali-kali menghancurkan ekosistem industri nasional.
Dari ojek pangkalan yang tersapu aplikasi digital, hingga retail konvensional yang tak mampu bertahan dari agresivitas marketplace.
Tidak ada yang kebal terhadap hukum ekonomi digital. Skala, teknologi, dan modal tak terbatas selalu memenangkan pertarungan. Dalam konteks Umrah Mandiri, ancaman itu bukan imajinasi.
Marketplace internasional memiliki seluruh variabel yang dibutuhkan untuk mendominasi pasar: efisiensi biaya, pengalaman global, kekuatan data, dan agresivitas ekspansi. PPIU yang bertumpu pada trust, edukasi ibadah, dan pendampingan personal akan menghadapi medan persaingan yang tidak simetris.
Di sini letak persoalan utama. Kepmen memang melindungi jemaah dari potensi kerugian administratif, tetapi Kepmen tidak melindungi struktur pasar umrah nasional. Ia tidak mengatur relasi kekuatan antara PPIU dan marketplace global, tidak memberi batasan bagi dominasi platform digital lintas negara, dan tidak membangun kewajiban kemitraan lokal.
Dengan kata lain, Kepmen melindungi konsumen, tetapi tidak melindungi produsen nasional. Dalam literatur hukum dan kebijakan publik, perlindungan konsumen dan perlindungan ekosistem industri adalah dua rezim regulasi yang sangat berbeda.
JR menjadi relevan justru karena soal yang dipersoalkan bukan teknis penyelenggaraan Umrah Mandiri, tetapi logika pasar yang diciptakan UU 14/2025. UU ini membuka struktur pasar baru tanpa analisis dampak, tanpa permodelan risiko, dan tanpa norma pencegah disrupsi predatoris oleh pemain global.
Negara seakan lupa bahwa pasar bukan ruang hampa. Pasar itu memiliki aktor, modal, dan kekuatan-kekuatan yang tidak bersifat netral. Membuka struktur pasar umrah tanpa rambu normatif sama saja dengan membiarkan industri umrah memasuki gelanggang kompetisi global tanpa perlindungan.
Dalam sejumlah preseden, Mahkamah Konstitusi menunjukkan kecenderungan kuat untuk mengawal keberlangsungan industri nasional dari ketimpangan struktural. MK berkali-kali menegaskan bahwa liberalisasi pasar harus disertai safeguard normatif untuk mencegah perusakan ekosistem domestik.
Kasus telekomunikasi, retail modern, hingga sengketa ekonomi digital menunjukkan bahwa MK tidak alergi pada argumen perlindungan ekonomi nasional selama ia dibingkai dalam bahasa konstitusi, bukan sekadar kepentingan dagang. JR terhadap UU 14/2025 berada tepat dalam koridor itu.
Lebih jauh, keluarnya Kepmen justru menjadi bukti yang terang benderang dan jelas bahwa negara ragu atas sikapnya sendiri. UU membuka pintu selebar-lebarnya, sementara Kepmen menutup sebagian celahnya. Ini inkonsistensi kebijakan yang berbahaya.
Jika negara ingin hadir secara penuh dalam pengaturan Umrah Mandiri, maka kehadiran itu harus berada di tingkat undang-undang, bukan pada regulasi teknis (Kepmen) yang bisa berubah sewaktu-waktu. Jika negara memilih tidak hadir, maka jangan membebani Kepmen dengan tanggung jawab yang tidak mampu dipikulnya.
Kenyataannya, marketplace global tidak bergerak menunggu kesiapan negara. Mereka bergerak cepat, agresif, dan oportunistik. Dalam lanskap kompetisi semacam ini, Kepmen hanya berfungsi sebagai payung kecil dalam badai.
Kepmen memang dapat meredam risiko administratif, tetapi ia tidak mampu menahan gelombang dominasi digital yang datang dari luar batas yurisdiksi Indonesia.
JR diperlukan agar negara memiliki basis konstitusional untuk menata kembali arsitektur pasar secara komprehensif dan berjangka panjang.
Terhadap pertanyan di atas, maka jawabannya sederhana: bukan hanya masih relevan, JR justru semakin mendesak setelah Kepmen terbit.
Kepmen menyelesaikan masalah teknis; JR menyelesaikan masalah struktural. Kepmen melindungi jemaah; JR melindungi industri nasional. Kepmen menata hari ini; JR memastikan keberlanjutan esok hari.
Jika negara ingin menjaga kedaulatan digital dan keberlangsungan ekosistem umrah nasional, maka koreksi konstitusional bukan pilihan, melainkan keharusan.
Editor : Alim Perdana