Hari Santri 2025: Antara Kemuliaan Pesantren dan Jerat Framing Negatif Media

avatar ayojatim.com
Slow Ahmadi Neja. Foto/Dok. Pribadi
Slow Ahmadi Neja. Foto/Dok. Pribadi

HARI Santri 2025 menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali peran santri di tengah arus deras informasi digital.

Di era ketika berita, opini, dan narasi tersebar begitu cepat di berbagai platform media, santri dituntut tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga penggerak literasi dan penjernih wacana publik.

Nilai tabayyun, yakni sikap hati-hati serta upaya memastikan kebenaran sebelum menyebarkan informasi, menjadi semakin penting dan mendesak di tengah maraknya disinformasi yang semakin rumit.

Dengan berlandaskan semangat pesantren yang menekankan keseimbangan antara ilmu, akhlak, dan kebijaksanaan, para santri memiliki potensi besar untuk tampil sebagai penjaga akal sehat digital bagi bangsa.

Santri, Pesantren, dan Gempuran Narasi Media

Setiap 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghormatan atas peran besar santri dalam perjuangan dan pembangunan negeri.

Namun pada peringatan Hari Santri 2025 ini, gema kebanggaan itu sedikit terusik oleh munculnya tayangan kontroversial "Xpose Uncensored" Trans7, yang menyorot kehidupan pesantren dengan cara yang dinilai menyesatkan dan merendahkan martabat santri.

Bagi saya, sebagai santri sekaligus dosen ilmu komunikasi, peristiwa ini menjadi bahan refleksi mendalam: bagaimana media membingkai pesantren, dan bagaimana seharusnya santri merespons arus informasi di era digital dengan adab, akal sehat, dan tabayyun.

Kontroversi Tayangan Xpose Uncensored

Program Xpose Uncensored yang ditayangkan 13 Oktober 2025 menuai kritik luas setelah menyorot Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Tayangan tersebut menampilkan narasi yang dianggap tidak proporsional, bahkan cenderung stereotip dan melecehkan kehidupan santri.

Beberapa potongan narasi seperti menggambarkan santri "minum susu harus jongkok" menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai framing tersebut berpotensi mengaburkan nilai-nilai luhur pesantren yang berakar pada kesederhanaan dan adab.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah ormas Islam menilai tayangan itu melanggar etika penyiaran dan mencederai kehormatan pesantren. Bahkan KPI menilai program tersebut melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) karena tidak berimbang dan menimbulkan stigma negatif.

Bagi kalangan pesantren, kasus ini bukan sekadar soal "dilecehkan", tetapi tentang pembingkaian yang keliru terhadap tradisi keilmuan Islam.

Media, dalam hal ini, telah gagal memahami pesantren sebagai lembaga yang sarat nilai, bukan sekadar objek sensasi.

Tabayyun sebagai Cerminan Etika Sosial

"Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya (tabayyun), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: 6).

Ayat ini menjadi pondasi etika komunikasi Islam: verifikasi, kehati-hatian, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks digital, tabayyun tidak hanya berarti memeriksa sumber berita, tetapi juga menahan diri dari reaksi emosional dan membangun dialog beradab.

Santri memiliki peran strategis di sini. Mereka tidak boleh hanya menjadi korban framing media, tetapi juga produsen narasi alternatif menyebarkan kisah positif pesantren, inovasi pendidikan, dan kontribusi sosial.

Era digital membutuhkan "santri komunikatif" yang mampu menebar pesan dengan hikmah, bukan amarah; dengan mau'izhah hasanah, bukan hujatan.

Media dan Teori Framing: Ketika Pesantren Diframing Negatif

Dari perspektif akademik, kasus ini dapat dijelaskan melalui Teori Framing (Robert Entman) yang menyebut bahwa media memilih aspek tertentu dari realitas untuk ditonjolkan, lalu membentuk persepsi publik.

Framing yang dilakukan Xpose Uncensored memperlihatkan pesantren dalam bingkai "tradisional, kolot, dan mistik", bukan "pendidikan moral dan intelektual".

Selain itu, Teori Agenda Setting (Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw 1968) menjelaskan bahwa media dapat memengaruhi isu apa yang dianggap penting oleh publik. Ketika pesantren diberitakan dengan cara sensasional, publik akan menganggap isu itu penting meski dengan persepsi yang keliru.

Dalam kajian etika komunikasi, istilah "communicative ethics" merujuk pada pendekatan yang memandang komunikasi sebagai sebuah aktivitas yang tidak sekadar mentransmisikan pesan, tetapi juga harus menjunjung kejujuran (truthfulness), keadilan (fairness), dan penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity). Pendekatan ini selaras dengan prinsip-prinsip Islam seperti sidq (kejujuran), amanah (kepercayaan), dan 'adl (keadilan).

Santri Digital dan Kemandirian Narasi Pesantren

Sebagai akademisi, saya meyakini bahwa pesantren hari ini telah menunjukkan kematangan dalam menghadapi arus informasi digital. Banyak pesantren telah memiliki literasi media dan strategi komunikasi yang kuat mulai dari pengelolaan kanal digital, kehadiran juru bicara, hingga penyebaran narasi keislaman yang santun dan mencerahkan.

Pesantren kini bukan lagi sekadar objek pemberitaan, tetapi menjadi sumber inspirasi dan rujukan moral di tengah hiruk-pikuk media. Kasus Xpose Uncensored justru memperlihatkan bagaimana komunitas santri mampu merespons dengan tenang, terukur, dan bermartabat.

Gelombang klarifikasi yang muncul tidak dibangun dari kemarahan, tetapi dari kebijaksanaan dan semangat tabayyun nilai khas pesantren yang kini terbukti relevan dalam dunia komunikasi modern.

Kita bisa melihat banyak pesantren yang telah memanfaatkan media sosial dan kanal digital sebagai ruang dakwah dan edukasi.

Dari konten dakwah kreatif di YouTube dan TikTok, hingga podcast keislaman dan portal berita pesantren, semua menunjukkan bahwa santri telah memahami esensi komunikasi masa kini: menyampaikan kebenaran dengan cara yang beradab dan menyejukkan.

Kolaborasi antara pesantren, akademisi, dan komunitas digital juga terus tumbuh. Bersama-sama mereka membangun ruang publik yang sehat, mendidik, dan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan.

Di tangan santri yang berilmu dan terbuka, prinsip tabayyun bukan hanya ajaran tekstual, melainkan praktik komunikasi etis yang menjaga martabat umat dan negara.

Menjadi Santri di Era Digital

Hari Santri 2025 bukan sekadar perayaan, tetapi refleksi atas tantangan zaman. Santri kini tidak hanya berjihad di bilik-bilik pesantren, tetapi juga di ruang digital melawan hoaks, menjaga marwah pesantren, dan menyebarkan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Kasus Xpose Uncensored harus menjadi pelajaran bahwa media tanpa tabayyun dapat menjadi pisau bermata dua. Namun, jika dikelola dengan ilmu dan adab, media bisa menjadi sarana dakwah yang berdaya ubah positif.

Di momen Hari Santri ini, mari kita perkuat tekad bersama untuk menjadi santri yang menjunjung tinggi sikap tabayyun, mampu berkomunikasi dengan baik, dan berperilaku santun di ruang digital.

Sebab, di tangan para santri yang berilmu dan berakhlak, masa depan komunikasi bangsa akan senantiasa terjaga.

Oleh: Slow Ahmadi Neja, Nama Pena dari Ahmadi.

Alumni Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Smenep & Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya.

Editor : Alim Perdana