Membaca Gonjang-Ganjing Politik Indonesia

Dr. H. Hamy Wahjunianto, M.M, Pengamat Ekonomi Politik Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI). foto: dokpri/ayojatim.
Dr. H. Hamy Wahjunianto, M.M, Pengamat Ekonomi Politik Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI). foto: dokpri/ayojatim.

Oleh Dr. H. Hamy Wahjunianto, M.M

DRIVER ojek online mitra Gojek bernama Affan Kurniawan, tewas setelah mengalami insiden tragis dilindas mobil rantis Brimob.

Peristiwa nahas yang membuat Ibu Pertiwi kembali menangis itu terjadi pada hari Kamis, 28/08/2025, dan langsung memicu gelombang kemarahan masyarakat.

Peristiwa mengenaskan itu diawali oleh unjuk rasa pada tanggal 25 Agustus 2025 yang merupakan puncak akumulasi ketidakpercayaan rakyat kepada DPR RI.

Ajakan unjuk rasa dengan konten menuntut pembubaran DPR yang beredar di media sosial ini sejatinya adalah puncak gunung es kekecewaan rakyat terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.

Semua bermula dari dikangkanginya konstitusi demi naiknya Gibran sebagai Wapres yang berlanjut dengan pembentukan kabinet gemuk yang berintikan 109 menteri, pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri.

Sebagian dari mereka merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN hingga yang terakhir adalah pemotongan dana transfer daerah yang berdampak pada naiknya pajak bumi dan bangunan di sejumlah daerah secara gila-gilaan, 250% - 1000%.

Betapa tidak memuncak amarah rakyat, bayangkan di tengah berbagai kesulitan hidup yang mereka rasakan, pada saat bersamaan agar mendapatkan dukungan politik dari DPR RI, wakil mereka di Senayan mendapatkan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan.

Bahkan pimpinan wakil mereka di Senayan termasuk napi koruptor justru mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putera dari Presiden Prabowo.

Ironinya unjuk rasa oleh yang disebut-sebut sebagai pemilik kedaulatan di negeri ini justru direspons oleh para wakil mereka di Senayan dengan cara yang sangat melukai hati mereka yang paling dalam.

Respons yang sangat tidak pantas ditunjukkan oleh Adies Kadir, Achmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, dan Dedi Sitorus, makin membuat amarah rakyat makin tak terbendung.

Kesombongan dan keangkuhan mereka membuat sebagian rakyat kemudian menjarah harta benda di rumah mewah mereka. Penjarahan yang sebenarnya tidak sesuai dengan moral dan hukum itu semakin membuat miris hati rakyat.

Para anggota DPR RI yang sudah memiliki rumah mewah itu masih menerima tunjangan perumahan dengan nilai fantastis, 50 juta per bulan.

Kejadian-kejadian di atas akhirnya memicu gelombang kemarahan rakyat yang menyebabkan 11 anak bangsa meregang nyawa hanya karena mereka berjuang menuntuk keadilan.

Penon-aktifan 5 anggota DPR RI pemantik amarah rakyat, penghapusan tunjangan perumahan bagi anggota DPR RI belum mampu membendung emosi rakyat karena belum menyentuh akar permasalahan yang diderita rakyat.

Dari fenomena-fenomena politik yang kembali membuat air mata dan darah menetes di bumi Pertiwi itu ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisis.

Pertama, mengapa di era Jokowi, joget-joget bareng di Istana Negara saat peringatan HUT Kemerdekaan RI tidak dianggap bermakna negatif ? Bahkan joget-joget Prabowo saat Pilpres 2024 justru mampu menaikkan suara, disukai rakyat karena dimaknai gemoy dan santuy. Akan tetapi mengapa joget-joget para anggota DPR RI dianggap bermakna negatif dan bahkan memantik amarah rakyat ?

Dr Ruddy Agusyanto, penemu Paradigma Jaringan Sosial menjelaskan bahwa makna dan kebenaran ada pada jaringan sosial, sehingga selalu multi faces.

Joget-joget di Istana Negara di era Jokowipun ada yg memaknainya negatif, begitu pula dengan Joget Gemoy Santuy Prabowo saat Pilpres 2024.

Namun saat itu konten Joget Gemoy adalah konten yang paling signifikan sehingga mampu mengalir deras di berbagai jaringan sosial.

Kedua, mengapa dalam waktu singkat ekskalasi amuk massa bisa meningkat dan meluas hingga di 32 provinsi dan 107 titik dan menewaskan 11 putra-putri Ibu Pertiwi ?

Hanya jaringan yang sangat terlatih yang dapat mengubah aksi unjuk rasa pembubaran DPR menjadi aksi amuk massa di 32 provinsi, 107 titik, mengakibatkan kerugian negara ratusan milyar, dan menewaskan 11 anak bangsa tuang punggung keluarga.

Ketiga, mengapa delegitimasi DPR RI berubah menjadi delegitimasi Polri sehingga Mako Brimob, Kantor Polres/Polsek, dan Pos-pos Polisi mudah sekali diserang ?

Unjuk rasa yang semula dimaksudkan untuk memberikan tekanan psikis kepada para anggota DPR RI dan cipta kondisi untuk delegitimasi institusi DPR RI tetiba berbalik menjadi delegitimasi Polri yang bahkan kemudian menimbulkan chaos di kota-kota besar.

Hanya jaringan terlatih yang mampu melakukan kontra intelijen untuk membalikkan keadaan tersebut. Mereka mampu menyusup, memprovokasi, melakukan infiltrasi, dan psywar ke dalam jaringan yang memulai unjuk rasa dengan tujuan mendelegitimasi institusi DPR RI.

Jaringan terlatih ini dalam hitungan hari mampu membalikkan keadaan dan memegang kendali politik.

Membaca situasi dan kondisi di atas dapat dijadikan Presiden Prabowo sebagai momentum untuk melakukan perbaikan kebijakan dan kinerja pemerintahan yang berpihak kepada rakyat.

Dimulai dari kebijakan kemudahan mendapatkan gas elpiji, turunnya harga bbm dan harga sembako, hingga dicabutnya privilege anggota DPR, Komisaris dan Direksi BUMN serta fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis.

Jika Presiden Prabowo memanfaatkan momentum dengan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan jelas. Maka melayangnya 11 nyawa anak Ibu Pertiwi saat usia pemerintahannya belum lagi genap satu tahun tidak akan sia-sia. Bahkan rakyat akan berdiri kokoh di belakangmu Jenderal !

Penulis adalah pengamat Ekonomi dan Politik ARCI

Editor : Diday Rosadi