Oleh: Ulul Albab
Akademisi Unitomo, Ketua Litbang DPP Amphuri,
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
GELOMBANG demonstrasi besar yang akhir-akhir ini mewarnai sejumlah kota di Indonesia kembali mengingatkan kita bahwa setiap gejolak sosial selalu ada harga yang harus dibayar. Ongkos kerusuhan itu tidak hanya soal kerusakan fisik yang terlihat, tetapi juga beban psikologis, sosial, ekonomi, bahkan politik.
Kita bisa memulai menghitungnya dari biaya langsung yang kasatmata. Kepolisian, misalnya, harus mengerahkan ribuan personel untuk mengamankan jalannya aksi.
Data resmi Kepolisian (1 September 2025) mencatat bahwa setiap operasi pengamanan massa menelan anggaran miliaran rupiah, mulai dari logistik, transportasi, hingga lembur personel.
Itu belum termasuk peralatan tambahan, mulai dari gas air mata (tear gas), peluru karet, hingga kendaraan taktis (armored vehicle).
Belum lagi kerusakan fasilitas publik. Jalan raya yang ditutup berjam-jam menyebabkan kemacetan, kerugian ekonomi, dan keterlambatan distribusi barang.
Menurut catatan Kementerian Perhubungan (Agustus 2025), kemacetan parah akibat aksi massa bisa merugikan hingga Rp50 miliar per hari di Jabodetabek, bila dihitung dari biaya bahan bakar, hilangnya produktivitas kerja, dan keterlambatan logistik.
Itu baru dari satu kota saja. Tak bisa dibayangkan jika kerusuhan terjadi serentak di berbagai daerah.
Ongkos Sosial dan Psikologis
Ongkos kerusuhan tidak hanya tentang angka-angka rupiah. Ada ongkos sosial yang jauh lebih sulit dihitung. Rasa takut, trauma, dan ketegangan antarwarga sering kali tersisa agak lama.
Anak-anak sekolah yang terjebak di tengah kericuhan, pedagang kecil yang kehilangan dagangan, hingga warga biasa yang harus menutup toko lebih awal. Semua itu menyisakan luka batin.
Penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2021) menunjukkan bahwa setiap konflik sosial yang melibatkan kekerasan meninggalkan dampak psikologis yang bisa bertahan bertahun-tahun.
Bahkan, rasa saling curiga antarwarga meningkat hingga 35% di wilayah yang pernah mengalami kerusuhan. Artinya, ada biaya sosial yang tidak langsung, namun nyata kita tanggung bersama.
Investasi dan Citra Negara
Kerusuhan juga berdampak pada kepercayaan investor. Pasar modal dan nilai tukar rupiah adalah yang paling cepat bereaksi.
Saat demonstrasi besar 2019, misalnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terkoreksi lebih dari 1lam sehari (Bursa Efek Indonesia, 25 September 2019). Investor asing langsung menahan diri, menunggu situasi kembali stabil.
Bagi dunia internasional, kerusuhan adalah lampu merah. Laporan Bank Dunia (World Bank, 2022) menegaskan bahwa stabilitas sosial adalah faktor utama yang dipertimbangkan investor, bahkan lebih penting dibandingkan insentif pajak. Artinya, setiap kali jalanan kita dipenuhi gas air mata, kapital asing pun ikut menjauh.
Ongkos Politik
Jangan lupa juga dengan ongkos politik. Kerusuhan sering kali memperlebar jarak antara rakyat dan penguasa. Pemerintah bisa kehilangan kepercayaan publik jika dianggap gagal mengelola aspirasi.
Demikian pula DPR sebagai wakil rakyat juga bisa semakin terpojok ketika publik melihat mereka terkesan abai dan sembunyi, atau malah sibuk menikmati fasilitas mewah.
Menghitung Ongkos dengan Jernih
Jika kita hitung secara kasar, sekali kerusuhan besar di ibu kota bisa menelan ongkos total lebih dari Rp100 miliar. Itu kombinasi dari biaya pengamanan, kerugian transportasi, kerusakan infrastruktur, dan dampak ekonomi tidak langsung.
Belum lagi biaya politik berupa hilangnya kepercayaan, serta biaya sosial berupa trauma dan luka yang sulit dipulihkan.
Di titik inilah kita perlu bertanya: apakah tuntutan yang disuarakan tidak bisa disalurkan dengan cara yang lebih elegan dan produktif?
Apakah negara harus menunggu jalanan terbakar baru mau mendengar rakyat? Dan apakah DPR serta pemerintah sadar bahwa ongkos kerusuhan ini akhirnya dibayar dengan pajak kita semua?
Refleksi untuk Semua
Kerusuhan adalah cermin yang menunjukkan ada yang tidak beres dalam komunikasi antara rakyat dan pemegang kebijakan. Di satu sisi, rakyat merasa suaranya tidak didengar. Di sisi lain, pemerintah merasa sudah bekerja sesuai jalur hukum. Pertemuan keduanya sering kali terjadi di jalanan, bukan di ruang dialog.
Ongkos kerusuhan adalah ongkos kolektif. Tidak ada yang benar-benar untung. Rakyat rugi, pemerintah rugi, dan bangsa ini kehilangan energi yang seharusnya bisa dipakai untuk membangun.
Maka, mari kita belajar menghitung dengan jernih. Bukan cuma hitungan ekonomi, tapi mari kita hitungan juga ongkos sosial, politik, dan moral. Dan, begini kira-kira ongkos kerusuhan yang harus kita tanggung, yaitu: terlalu mahal, terlalu melelahkan, dan terlalu menyakitkan untuk diulang terus-menerus.
Mari kita cerdas bernegara, cerdas berbangsa, cerdas sebagai pemerintah, cerdas sebagai wakil rakyat, cerdas sebagai apparat, dan cerdas sebagai rakyat.
Editor : Alim Perdana