Oleh: Ulul Albab
Akademisi, Ketua Litbang DPP AMPHURI,
dan Ketua ICMI Orwil Jatim
PEMERINTAH dan DPR kini sedang dihadapkan pada agenda penting: reformasi tata kelola ibadah haji nasional. Sebuah perubahan besar tengah dirintis, dari model birokratis di bawah Kementerian Agama menuju model kelembagaan baru berbentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 telah disahkan sebagai usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna 24 Juli 2025 lalu. Komisi VIII DPR kini tinggal menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah untuk melanjutkan pembahasan.
Tapi di tengah proses ini, muncul satu pertanyaan yang tak boleh disepelekan, yaitu: apakah pemerintah benar-benar sudah siap menjalankan transformasi besar ini? Atau jangan-jangan kita akan kembali terjebak dalam pola lama, yaitu: tarik-menarik kepentingan, resistensi birokrasi, dan lambannya pengambilan keputusan?
Dalam dunia kebijakan publik, ada adagium yang patut direnungkan: “Resistance is normal, but delay is fatal.” Dan dalam konteks penyelenggaraan haji, keterlambatan itu bukan saja fatal, tetapi bisa sangat mahal biayanya, baik secara finansial, politik, maupun spiritual.
Waktu Kita Sangat Terbatas
Untuk diketahui, bahwa Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan standar baru dalam pengelolaan musim haji. Semua urusan kontraktual (akomodasi, transportasi, katering, dan sebagainya) harus selesai delapan bulan sebelum keberangkatan jemaah.
Jika BP Haji ditargetkan mengambil alih pada musim haji 2026, maka seluruh fondasi kelembagaan, sistem, dan SDM-nya harus aktif paling lambat pertenghahan tahun 2025 ini. Ya. Sekarang ini. Artinya, kita berpacu dengan waktu.
Keterlambatan penyerahan DIM, lambannya pembahasan di DPR, atau ketidakjelasan roadmap kelembagaan akan menjadi bom waktu. Jangan sampai upaya baik ini justru menciptakan kekacauan baru karena transisi yang tidak disiapkan dengan matang.
Transformasi Ini Harus Holistik
Sebagai akademisi sekaligus Ketua Litbang DPP AMPHURI, saya menyampaikan bahwa transformasi ini tidak bisa setengah hati. Dalam berbagai kajian yang telah kami lakukan (dan banyak di antaranya sudah kami publikasikan di media) tergambar bahwa kelembagaan baru ini harus dibangun di atas tiga fondasi utama:
1. Kelembagaan yang Kuat dan Jelas:
BP Haji harus memiliki bentuk hukum dan struktur yang memungkinkan ia bekerja secara profesional, efisien, dan bebas dari tekanan politik. Kewenangannya harus tegas, termasuk dalam urusan bilateral dengan Arab Saudi.
2. Akuntabilitas dan Transparansi Publik:
Kita tidak ingin lembaga baru ini mengulang kelemahan lama. Maka, sistem pengawasan (baik oleh DPR, publik, maupun asosiasi penyelenggara haji) harus menjadi bagian integral dari desain BP Haji.
3. Manajemen Transisi yang Sistemik:
Pengalihan fungsi dari Kemenag ke BP Haji tidak bisa dilakukan sporadis. Harus ada jadwal, peta jalan, pelatihan SDM, integrasi data, dan harmonisasi tugas antar-lembaga yang terukur dan teruji.
Reformasi atau Reputasi?
Ini yang penting: Transformasi ini bukan hanya soal tata kelola. Transformasi ini menyangkut reputasi Indonesia di mata dunia, sebagai negara dengan jemaah haji terbesar di dunia. Gagal merancang transisi dengan baik bukan hanya akan merugikan jemaah, tapi juga mencoreng nama baik bangsa.
Lebih jauh lagi, transformasi ini menyangkut hak-hak jamaah sebagai warga negara yang telah menabung bertahun-tahun demi. Negara harus hadir bukan sebagai pengatur semata, tetapi sebagai pelayan yang amanah.
Kementerian Agama, jika reformasi ini berhasil, dapat lebih fokus pada tugas-tugas strategisnya, yaitu: pembinaan umat, pendidikan keagamaan, dan penguatan nilai-nilai moderasi Islam. Sementara operasionalisasi layanan haji akan berada di tangan lembaga khusus yang profesional.
Saatnya Memilih Jalan Serius
Transformasi penyelenggaraan haji adalah momentum sejarah. Tapi harus diingat sejarah tidak akan bersabar menunggu kita. Jangan sampai kesempatan emas ini hilang karena kelambanan teknis, ketidaktegasan politik, atau kurangnya visi kelembagaan.
Sekali lagi, “Resistance is normal, but delay is fatal.” Dan fatalnya keterlambatan bisa dirasakan langsung oleh para calon tamu-tamu Allah di tanah suci. Maka mari kita pilih jalan serius, yaitu jalan yang mengutamakan pelayanan, keadilan, dan kemuliaan.
AMPHURI, ICMI, dan berbagai kekuatan masyarakat sipil muslim di Indonesia siap berkontribusi penuh jika diajak dan dilibatkan secara serius dalam proses ini.
Sudah saatnya pemerintah dan legislatif melihat umat bukan sekadar sebagai objek regulasi, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun sistem haji yang lebih baik.
Jangan pernah merasa cukup hanya dengan berpegang pada kebiasaan, prosedur formal, dan dokumen normatif dalam merumuskan regulasi sepenting ini.
Tanpa pelibatan unsur-unsur penting umat, transformasi kelembagaan hanya akan menjadi formalitas, tanpa ruh, tanpa legitimasi sosial, dan tanpa daya tahan. Apalagi berkelanjutan.
Editor : Alim Perdana