Antara Tanah Suci dan Tanah Bencana

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

DI Bali sedang ramai. Silaknas ICMI 5–7 Desember 2025 berlangsung dengan agenda padat. Diskusi berlapis. Gagasan berhamburan. Banyak hal penting menunggu untuk ditulis.

Namun pikiran saya justru tersangkut pada satu berita dari ujung barat Indonesia. Aceh, Sumut, Sumbar. Banjir bandang. Air cokelat. Rumah hanyut. Tangis di pengungsian. Jenazah ditemukan. Sebagian masih dicari.

Di tengah itu semua, tersiar kabar: seorang bupatinya di salah satu wilayah bencana itu (Aceh) sedang umrah. Saya berhenti menulis sejenak. Tidak mudah melanjutkan kalimat seperti biasa. Bukan karena umrahnya. Bukan pula karena Acehnya. Tapi karena pertanyaan yang langsung menghantam kesadaran saya yaitu: di mana batas antara ibadah dan amanah?

Topik ini terasa mendesak. Bahkan lebih mendesak daripada agenda lain yang juga penting. Sebab ini bukan soal politik. Ini soal moral kepemimpinan. Ini soal bagaimana agama dipraktikkan ketika seseorang sedang diberi kuasa.

Kasus ini tidak perlu dipersonalisasi. Tidak tentang siapa nama bupatinya. Tidak juga tentang wilayah Aceh. Tapi ini tentang etika public office. Tentang bagaimana seorang pemimpin membaca situasi. Dan tentang cara memahami agama secara utuh.

Pertanyaannya sebenarnya sederhana: mana yang lebih mulia di mata Allah: pergi umrah atau hadir bersama rakyat yang sedang berjuang menyelamatkan diri dari bencana?

Dalam Islam, urutannya jelas. Para ulama sejak dulu menyepakati satu kaidah, bahwa: yang wajib didahulukan daripada yang sunnah. Umrah adalah ibadah sunnah. Menyelamatkan manusia dalam kondisi darurat adalah kewajiban.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa meringankan penderitaan saudaranya, Allah akan meringankan penderitaannya pada hari kiamat."

Ada pula kaidah fikih yang sangat terkenal: “menolak mudarat harus didahulukan daripada mengambil manfaat.” Artinya, menyelamatkan nyawa manusia bukan hanya dianjurkan. Ia adalah ibadah tertinggi. Bahkan Nabi pernah membatalkan i’tikaf, ibadah yang agung, hanya untuk menolong orang yang membutuhkan.

Di situlah letak wajah sejati agama. Bukan di ritual semata, tapi di kemanusiaannya.

Dari sisi negara, posisinya lebih tegas lagi. Seorang bupati bukan hanya tokoh masyarakat. Ia adalah pejabat publik. Ia mengucapkan sumpah. Ia diberi mandat.

Undang-undang menugaskannya satu hal ketika terjadi bencana: maka bupati harus hadir dan memimpin. Memimpin tanggap darurat. Menggerakkan sumber daya. Mengambil keputusan cepat.

Ini bukan pilihan. Ini kewajiban konstitusional. Tidak ada kalimat dalam hukum negara yang berbunyi: "Maaf, saya sedang umrah." Keselamatan rakyat tidak menunggu agenda pribadi, betapapun mulianya agenda itu.

Dalam kepemimpinan Islam, ada istilah “al-qiydah al-muwajjahah.” Kepemimpinan itu adalah yang hadir. Menyertai. Turun ke lapangan. Kehadiran pemimpin bukan hanya simbol. Tetapi penenang. Penunjuk arah. Sumber harapan.

Umar bin Khattab memberi teladan sangat jelas. Saat paceklik besar “Aam al-Ramadah,” beliau menunda haji, sebuah ibadah wajib. Beliau memilih tinggal. Beliau memilih rakyat. Beliau memilih memimpin. Bagi Umar r.a., urusan negara saat krisis adalah ibadah tertinggi. Jika haji saja bisa ditunda, apalagi umrah yang sunnah.

Aceh adalah daerah religius. Rakyatnya memahami agama. Namun mereka juga memahami keadilan.

Bayangkan perasaan warga yang sedang menggali lumpur mencari keluarganya, lalu mendengar bahwa pemimpinnya berada di Tanah Suci. Itu bukan kabar yang menenteramkan. Itu justru menggores rasa keadilan sosial.

Ibadah seharusnya melahirkan empati. Bukan jarak. Bukan luka. Maka jika ditanya: mana yang lebih mulia, umrah atau membersamai rakyat dalam bencana? Jawabannya serempak, dari akal, iman, dan Nurani, yaitu: membersamai rakyat jauh lebih mulia.

Di situlah kemuliaan pemimpin. Di situlah amanah diuji. Di situlah pahala terbesar. Bukan berapa kali seseorang pergi ke Tanah Suci yang akan diingat sejarah. Tetapi apakah ia hadir ketika rakyatnya sangat membutuhkan.

Semoga renungan ini menjadi pengingat bersama. Terutama bagi mereka yang diberi amanah. Terutama bagi pemimpin yang beragama.

Editor : Alim Perdana