Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Ketua Litbang DPP Amphuri
HARI ini, 5 Desember 20205, adalah pembukaan Silaknas ICMI di Bali. Ketika ICMI memutuskan Bali sebagai tuan rumah Silaknas dan Konferensi Nasional 2025, sebagian publik mungkin bertanya: mengapa Bali? Pertanyaan itu wajar, tetapi jawabannya jauh lebih menarik daripada sekadar pilihan lokasi.
Bali bukan hanya ikon pariwisata Indonesia. Bali adalah simbol keterbukaan budaya, ruang perjumpaan global, dan laboratorium harmoni sosial. Menyelenggarakan Silaknas ICMI di sana berarti membawa gagasan-gagasan besar Islam berkemajuan ke panggung yang lebih luas, lebih majemuk, dan lebih strategis.
Sebab itu, tema besar “Penguatan Ekosistem Halal dan Keuangan Syariah Digital” bukan sekadar slogan sensatif konferensi. Tapi penegasan arah baru gerakan cendekiawan Muslim Indonesia: bahwa kontribusi intelektual tidak bisa berhenti pada wacana, tetapi harus bergerak ke implementasi. Dan Bali adalah tempat paling tepat untuk menampilkannya.
Dalam satu dekade terakhir, isu halal tidak lagi semata urusan fikih. Ia telah menjadi global value chain bernilai ratusan miliar dolar. Pariwisata halal, makanan dan minuman halal, kosmetik halal, industri farmasi halal, hingga fashion Muslim. Semuanya tumbuh lebih cepat dibanding rata-rata ekonomi global.
Namun di Indonesia, negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia, ekosistem halal masih berjalan tersendat. Sertifikasi halal belum sepenuhnya dipahami pelaku UMKM. Digitalisasi prosesnya masih belum merata. Dan keuangan syariah, meski tumbuh, masih kalah jauh dibanding negara berpenduduk Muslim lebih kecil seperti Malaysia atau Arab Saudi.
Dengan memilih Bali sebagai laboratorium gagasan, ICMI ingin mendorong perubahan itu menjadi agenda nasional.
Bali memiliki potensi besar menjadi model ekosistem halal yang inklusif. Bali terbiasa menjadi rumah bagi wisatawan mancanegara, pelaku bisnis global, dan komunitas antaragama. Jika ekosistem halal dapat berkembang di Bali, tanpa merusak harmoni budaya yang telah mengakar, maka ia dapat berkembang di seluruh Indonesia.
Sementara itu, BPJPH dituntut untuk memastikan bahwa sertifikasi halal tidak lagi menjadi hambatan, tetapi menjadi jaminan kualitas dan daya saing. Di titik inilah ICMI dapat memainkan peran unik: menjembatani dunia akademik, birokrasi halal, dan UMKM agar lebih siap memasuki pasar global.
Tetapi isu halal bukan satu-satunya alasan mengapa SILAKNAS tahun ini terasa berbeda. Negara sedang memasuki fase baru kepemimpinan di bawah Presiden Prabowo Subianto, dengan agenda besar mengenai kedaulatan pangan, industrialisasi, kecerdasan buatan, dan sistem ekonomi yang lebih mandiri. Di tengah transformasi itu, organisasi-organisasi berbasis intelektual seperti ICMI dituntut kembali menegaskan relevansinya.
Kita sedang hidup dalam masa ketika kapasitas ilmu harus berdampak. Ketika etika publik harus menjadi penopang kekuasaan. Dan ketika umat membutuhkan panduan yang tidak hanya moral, tetapi juga strategis. Jika ICMI tidak mengambil ruang itu, maka ruang itu akan diambil oleh pihak lain. Yaitu oleh pasar, oleh ideologi luar, atau oleh kekuatan digital global yang tidak selalu menguntungkan Indonesia.
Sebab itu, Silaknas Bali bukan sekadar forum tahunan. Tapi sebuah momentum reposisi. Di tengah meningkatnya bencana ekologis, kontroversi bandara privat di Morowali, korupsi yang terus terjadi, dan ruang publik yang makin bising dengan pencitraan, ICMI perlu menyampaikan suara jernih: suara kebijakan yang berbasis data, berbasis etika, dan berpihak pada kemajuan bangsa.
Peran ICMI tidak lagi dapat berhenti pada identitas moral, tetapi harus masuk pada strategi. Strategi kebijakan, strategi inovasi, strategi ekonomi, dan terutama strategi peradaban. Inilah yang menjadikan tema ekosistem halal dan digitalisasi keuangan syariah menjadi lebih relevan: bukan hanya isu ekonomi, tetapi bagian dari pembangunan peradaban Muslim Indonesia yang modern.
Tahun 2025 juga menandai 35 tahun perjalanan ICMI. Dalam rentang waktu itu, organisasi ini pernah menjadi pusat energi intelektual, membuka dialog antara ilmu, iman, dan kebangsaan.
Kini, ketika dunia berubah lebih cepat, tantangan ICMI justru lebih besar: bagaimana tetap menjadi penentu arah pemikiran ketika informasi bergerak begitu liar? Bagaimana menjaga etika publik ketika media sosial mendorong semua hal ke arena pencitraan? Bagaimana menjaga rasionalitas umat ketika post-truth sering memecah belah masyarakat?
ICMI tidak bisa tinggal di masa lalu. Tapi harus kembali berdiri di baris depan perubahan. Ekosistem halal hanyalah pintu masuk. Arah besarnya adalah membangun civilizational mindset baru dalam tubuh umat dan bangsa, yaitu: cara berpikir yang memadukan sains, iman, teknologi, dan integritas.
Itu sebabnya kehadiran Presiden Prabowo Subianto yang diagendakan pada puncak Silaknas 7 Desember 2025 menjadi simbol penting. Jika presiden benar-benar bisa hadir maka akan menunjukkan pengakuan negara bahwa ICMI tetap dipandang sebagai mitra strategis, bukan hanya dalam wacana keagamaan, tetapi dalam agenda pembangunan nasional.
Silaknas Bali harus menjadi babak baru. Harus mengirim pesan bahwa kecendekiaan Muslim Indonesia bukan hanya untuk forum seminar, tetapi untuk menggerakkan UMKM, memperkuat pangan halal, mengembangkan keuangan syariah digital, mendorong riset unggulan, dan menjaga harmoni bangsa.
Dan jika semua itu dilakukan dengan jernih, mandiri, dan berkeadaban, maka ICMI akan kembali menjadi apa yang dulu pernah ia wujudkan, yaitu: rumah besar gagasan untuk Indonesia.
Atas nama ketua ICMI Jawa Timur, juga atas nama Litbang DPP Amphuri, saya ucapkan Selamat Milad dan Selamat Silaknas ICMI. Support dan doa serta komitmen saya insyaallah tetap dan selalu hadir untuk menjadikan ICMI bermanfaat dan bermaslahat untuk umat dan Bangsa Indonesia.
Editor : Alim Perdana