ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

KUHAP Baru: Antara Pembaruan Normatif dan Tantangan Keadilan yang Hakiki

avatar ayojatim.com
  • URL berhasil dicopy

Oleh: Risma Setiawati
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Negeri Surabaya

LAHIRNYA Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru menjadi tonggak sejarah bagi upaya negara dalam memodernisasi sistem peradilan pidana Indonesia. 

Langkah ini diambil karena KUHAP lama (UU No. 8 Tahun 1981) dianggap sudah usang dan tidak lagi mampu mengakomodasi dinamika hukum serta kebutuhan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang semakin kompleks. 

Namun, secanggih apa pun pembaruan regulasinya, keadilan peradilan tidak akan terwujud secara otomatis jika perlindungan HAM hanya tertulis di atas kertas tanpa implementasi nyata.

Landasan Normatif dan Prinsip Fair Trial KUHAP baru secara tegas mengadopsi prinsip peradilan yang jujur (fair trial) dan penghormatan terhadap HAM. Hal ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (2) yang menjamin perlakuan adil, manusiawi, serta bebas dari diskriminasi bagi setiap individu yang berhadapan dengan hukum. 

Semangat ini sejalan dengan mandat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengenai kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Meski demikian, ujian sesungguhnya terletak pada operasionalisasi prinsip-prinsip tersebut di setiap jenjang proses pidana.

Hak Atas Informasi dan Pembelaan Efektif Salah satu pilar fair trial adalah hak tersangka untuk memahami tuduhan yang dialamatkan kepadanya. KUHAP baru mewajibkan penyidik menginformasikan status hukum dan sangkaan secara terang benderang. 

Namun, realita di lapangan sering kali menunjukkan pemberitahuan tersebut hanya formalitas belaka, tanpa penjelasan substansial yang memadai. Bagi tersangka dengan keterbatasan pendidikan, ketiadaan pemahaman yang mendalam ini dapat melumpuhkan hak pembelaan mereka dan mereduksi efektivitas bantuan hukum.

Dilema Praduga Tak Bersalah dan Komunikasi Publik Asas praduga tak bersalah tetap menjadi prinsip fundamental dalam KUHAP baru. 

Sayangnya, prinsip ini sering kali tergerus oleh fenomena trial by the press dan pelabelan negatif di masyarakat sebelum ada putusan pengadilan. Ketika penegak hukum memaparkan detail perkara secara berlebihan ke publik, martabat dan reputasi seseorang terancam hancur sebelum diadili. 

KUHAP baru dinilai masih memiliki celah karena belum mengatur batasan tegas mengenai komunikasi publik aparat yang berisiko melanggar privasi dan hak terdakwa.

Tantangan Bukti Elektronik dan Perlindungan Privasi Di era digital, pengakuan alat bukti elektronik dalam KUHAP baru adalah sebuah keharusan. 

Akan tetapi, penggunaan teknologi ini tanpa standar perlindungan privasi yang ketat berpotensi melanggar hak atas kehidupan pribadi sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. 

Penegakan hukum tidak boleh hanya terpaku pada upaya mengejar kebenaran materiil semata, tetapi juga wajib memastikan bahwa cara perolehan bukti dilakukan secara legal dan beretika.

Transformasi Paradigma Penegak Hukum Merujuk pada standar HAM internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), fair trial mencakup seluruh rangkaian proses, mulai dari penyelidikan hingga eksekusi. 

Negara wajib memastikan proses tersebut bebas dari tekanan dan kesewenang-wenangan. Oleh sebab itu, pembaruan KUHAP harus dibarengi dengan perubahan paradigma aparat penegak hukum agar memandang tersangka sebagai subjek hukum yang memiliki martabat, bukan sekadar objek pemeriksaan.

Kesimpulan KUHAP baru memang menawarkan kerangka hukum yang lebih modern, namun kita tidak boleh terjebak dalam formalisme hukum semata. 

Perlindungan HAM yang substantif menuntut komitmen kuat dari penegak hukum serta pengawasan publik yang tajam. Keberhasilan regulasi ini tidak diukur dari kelengkapan pasalnya, melainkan dari kemampuannya menciptakan sistem peradilan yang adil dan manusiawi. 

Dalam sebuah negara demokrasi, hukum acara pidana harus berfungsi sebagai pelindung hak asasi, bukan sekadar instrumen kekuasaan.

Editor :