SILAKNAS ICMI 2025: Dari Bali ke Jawa Timur

Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur

BALI biasanya identik dengan pantai. Tapi pada 5–7 Desember 2025, Bali memberi pengalaman lain. Bukan soal ombak atau matahari tenggelam. Tapi tentang pikiran-pikiran yang bergerak. Di sanalah Silaturahmi Kerja Nasional (SILAKNAS) ICMI digelar.

Saya berharap, delegasi ICMI Jawa Timur membawa pulang oleh-oleh penting. Bukan sekadar catatan rapat. Karena di balik suksesnya gelaran Silaknas ini ada kegelisahan, ada harapan, ada juga pertanyaan sederhana tapi berat. Yaitu: setelah semua forum nasional ini, apa yang bisa—dan harus—dikerjakan di daerah?

Jujur saja, forum nasional sering berakhir rapi di laporan, tapi berantakan di lapangan. Foto-foto bagus. Rekomendasi tebal. Namun setelah itu, semua kembali ke rutinitas.

SILAKNAS ICMI kali ini tidak boleh jatuh ke lubang yang sama. Tantangan sebenarnya justru dimulai ketika spanduk diturunkan dan peserta pulang ke daerah masing-masing.

Di titik ini, ICMI—termasuk kami di Jawa Timur—harus berani meninggalkan zona nyaman diskusi. Jika tidak, kita akan rajin berbicara tentang masa depan, tapi tidak menampakkan diri saat masa depan itu mulai dibentuk.

Pertanyaan – atau lebih tepatnya “sindiran” – itu menjadi penting karena Indonesia kini sedang berada di jalur besar menuju Indonesia Emas 2045. RPJMN 2025–2029 telah ditetapkan. Targetnya jelas: sumber daya manusia unggul, ekonomi bernilai tambah, dan tata kelola yang berintegritas. Tetapi semua target nasional itu, pada akhirnya, harus mendarat di daerah. Termasuk di Jawa Timur.

ICMI dalam SILAKNAS 2025 tidak bicara hal-hal abstrak. Yang dibahas justru sangat membumi: ekonomi halal, keuangan syariah digital, dan kepemimpinan masa depan. Bagi Jawa Timur, tema-tema ini bukan barang asing. Bahkan sangat dekat dengan denyut sosial dan ekonomi masyarakat.

Jawa Timur adalah provinsi dengan basis pesantren terbesar di Indonesia. Industri halal—dari pangan, fesyen, farmasi, sampai pariwisata religi—hidup di sini, meski sering berjalan terpisah-pisah. Kita punya UMKM kuat, SDM melimpah, juga tradisi keagamaan yang kokoh. Semua ada. Yang kurang bukan niat, tapi seringkali yang kurang adalah “orkestrasinya.”

Di Bali, ekonomi halal tidak bisa lagi diperlakukan sebagai isu pinggiran. Juga bukan semata urusan label atau sertifikat. Tapi sudah menjadi strategi ekonomi nasional. Jika Indonesia ingin naik kelas dalam rantai nilai global, sektor halal adalah salah satu pintu masuk paling realistis. Jawa Timur, dengan ekosistemnya, bisa menjadi lokomotif.

Tetapi lokomotif harus berada di rel yang jelas. Di sinilah peran cendekiawan diuji. ICMI tidak boleh hanya menjadi ruang diskusi. Harus menjadi penghubung: antara kampus dan pasar, antara pesantren dan industri, antara riset dan kebijakan daerah.

SILAKNAS memberi pesan kuat bahwa pembangunan tidak bisa hanya dibebankan pada negara. Perlu kolaborasi. Perlu jembatan. Dan cendekiawan memiliki posisi unik untuk itu—cukup dekat dengan dunia gagasan, tetapi juga punya tanggung jawab sosial.

Hal lain yang sangat mengena bagi saya adalah isu kepemimpinan. Jawa Timur akan menghadapi bonus demografi dalam satu dekade ke depan. Anak-anak muda melimpah. Energi besar. Tetapi jika tanpa arah, bonus itu bisa berubah menjadi beban.

Program kaderisasi dan leadership camp yang menjadi bagian dari SILAKNAS mengingatkan satu hal: pemimpin tidak dilahirkan dalam semalam. Ia dibentuk. Dibiasakan. Diperkenalkan pada nilai, etika, dan kompleksitas masalah publik sejak dini. Ini sejalan dengan kebutuhan daerah, termasuk Jawa Timur, yang membutuhkan pemimpin tidak hanya pandai berbicara, tetapi mampu bekerja lintas sekat.

ICMI, menurut hemat saya, harus menempatkan isu kepemimpinan ini sebagai agenda jangka panjang di daerah. Bukan agenda lima tahunan. Apalagi sekadar proyek kegiatan. Indonesia Emas 2045 butuh pemimpin daerah yang matang secara intelektual dan moral. Itu tidak mungkin dicapai tanpa investasi serius hari ini.

Menariknya, Bali sebagai lokasi SILAKNAS juga memberi pelajaran tersendiri. Di tengah pluralitas dan keterbukaan budaya, pesan yang muncul justru tentang harmoni. Bahwa Islam Indonesia—melalui ICMI—tidak hadir untuk memisahkan, tetapi untuk merajut. Bukan mempersempit ruang kebangsaan, melainkan memperluas makna kebersamaan.

Pesan ini relevan bagi Jawa Timur. Provinsi ini adalah miniatur Indonesia. Beragam latar belakang, organisasi keagamaan, dan orientasi politik hidup berdampingan. ICMI harus hadir sebagai simpul penenang—yang berbicara dengan akal sehat, bukan emosi; dengan data, bukan prasangka.

Namun tantangan terbesar justru dimulai setelah forum berakhir. Apakah gagasan SILAKNAS akan hidup di daerah, atau hanya mengendap di laporan kegiatan?

Inilah ujian bagi kami di ICMI daerah. Rekomendasi nasional harus diterjemahkan menjadi program konkret. Dialog harus diikuti langkah kerja. Kerja keilmuan harus bersentuhan dengan kebijakan daerah—tanpa kehilangan independensinya.

SILAKNAS ICMI 2025 memberi arah. Jawa Timur memberi ladang. Tinggal satu hal yang menentukan: keberanian untuk konsisten. Sebab Indonesia Emas 2045 tidak dibangun dari pidato panjang, tetapi dari kerja-kerja sunyi yang dijalankan dengan ilmu, nilai, dan tanggung jawab.

Dan di situlah, menurut saya, peran cendekiawan menemukan maknanya yang paling hakiki.

Editor : Alim Perdana