Oleh Denny JA
"Minyak mampu mengangkat derajat suatu bangsa, seperti Arab Saudi, namun juga mampu menghancurkan negeri lain, seperti Venezuela. Pertanyaannya, apa yang dapat dipelajari Indonesia sebelum terlambat?"
Pada Mei 2020, saat dunia dilanda pandemi, bencana lingkungan yang kurang mendapat sorotan di Indonesia terjadi di Norilsk, Rusia.
Lebih dari 20.000 ton solar tumpah ke sungai dan tanah beku tundra Arktik, menyebabkan sungai memerah dan tanah tercemar racun. Marah besar, Presiden Putin menjatuhkan denda lebih dari $2 miliar kepada perusahaan Norilsk Nickel.
Kejadian ini bukan sekadar bencana lingkungan, melainkan alegori getir. Suatu negara yang pernah menaklukkan langit dengan roket dan merancang revolusi global, kini terjerat dalam permasalahan industri lama. Ini merupakan luka permanen akibat ketergantungan pada energi fosil dan kegagalan dalam melakukan pembaruan sistem.
Pertanyaan pun muncul: Bagaimana agar Indonesia tidak bernasib sama dengan Norilsk? Apa yang akan terjadi jika hutan Kalimantan memerah, bukan karena matahari senja, melainkan karena tumpahan minyak dari kilang tua?
Minyak adalah paradoks. Ia merupakan berkah yang membiayai pembangunan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur, namun juga kutukan yang memicu korupsi, merusak demokrasi, dan menghancurkan ekosistem.
Sejak sumur minyak pertama di Dammam, 1938, sejarah dunia seakan berubah menjadi novel distopia. Perang terjadi demi minyak, rezim runtuh karena harga minyak dunia, dan negara-negara menjadi kecanduan anggaran dari sumur yang semakin menua.
Dari gurun Saudi hingga rawa-rawa Nigeria, dari rig di Alaska hingga kilang di Balikpapan, kita menyaksikan pola berulang: ketika energi dikendalikan tanpa etika, ia akan menjadi senjata yang menghantam balik penciptanya.
Indonesia pun tidak kebal. Di balik subsidi BBM yang menyenangkan rakyat, tersembunyi jurang fiskal yang mengintai. Di balik pundi-pundi migas, ada potensi jebakan Venezuela.
Di manakah titik keseimbangannya?
Ketika manusia pertama kali menemukan api, ia menghangatkan gua dan mengusir gelap. Namun, manusia kemudian belajar menyulut bahan bakar. Kini, kita sampai pada titik di mana mesin mulai menyulut bahan bakar tanpa campur tangan manusia. AI—Artificial Intelligence—adalah api kedua.
Saat ini, ladang minyak lepas pantai dikendalikan dari jarak ribuan kilometer melalui sensor dan algoritma. Pemetaan reservoir dilakukan oleh jaringan neural.
Proyeksi harga minyak ditentukan oleh *machine learning* yang menganalisis geopolitik, cuaca, dan konsumsi global secara simultan.
Namun, pertanyaan utamanya bukan hanya tentang efisiensi, melainkan: Apakah dengan AI, kendali energi akan menjadi lebih demokratis, atau justru lebih terpusat pada segelintir korporasi dan negara?
Dahulu, negara merupakan aktor utama. Namun, di abad ke-21, negara harus berbagi panggung dengan korporasi—terutama korporasi minyak. Chevron pernah menolak keputusan pengadilan di Ekuador. ExxonMobil mempengaruhi regulasi iklim di Washington.
TotalEnergies menjadi penentu kebijakan luar negeri Prancis di Afrika. Kini, bahkan AI pun dikembangkan oleh mereka, bukan oleh pemerintah.
Kita hidup di dunia di mana "Big Oil" lebih besar dari sebagian besar negara. Jika algoritma mereka mengatur produksi, distribusi, dan bahkan prediksi konflik, maka energi bukan hanya milik publik, tetapi milik kapital. Kapital, tanpa etika, adalah iblis yang bersayap teknologi.
Apa yang Dapat Dipelajari Indonesia?**
Indonesia berada di persimpangan. Kita bukan negara kaya minyak seperti Arab Saudi, tetapi juga bukan negara miskin energi. Kita memiliki Pertamina, cadangan, dan geopolitik yang strategis. Namun, kita juga memiliki sejarah korupsi migas, subsidi boros, dan eksploitasi yang merusak lingkungan.
Apa yang dapat kita pelajari dari Venezuela, Nigeria, Norilsk, Big Oil, dan AI?
1. Diversifikasi
Ketergantungan pada minyak harus dikurangi. Pengembangan ekosistem energi terbarukan yang serius, bukan sekadar slogan, sangat penting.
2. Pengembangan AI
Indonesia harus mengembangkan AI sendiri, bukan hanya menjadi pasar teknologi asing. Anak bangsa harus dilatih untuk mengendalikan algoritma eksplorasi, bukan hanya menjadi operator bor.
3. Reformasi Tata Kelola Migas
Keterlibatan masyarakat sipil, peningkatan transparansi, dan penetapan energi sebagai hak, bukan komoditas politik, sangat diperlukan.
4. Etika dalam Energi
Pertanyaan "seberapa murah energi ini?" harus diimbangi dengan pertanyaan "siapa yang menderita agar energi ini tersedia?".
Di Sulawesi Tengah, PLTA Poso berkekuatan 515 MW menjadi bukti bahwa energi terbarukan bukan sekadar wacana. Ia memasok listrik ke jaringan Trans-Sulawesi dan menyerap ribuan tenaga kerja lokal.
Namun, proyek ini juga memicu protes warga, terutama nelayan dan petani, karena pengerukan Danau Poso mengubah ekosistem dan memicu konflik lahan.
Energi hijau tetap membawa paradoks lama: kemajuan versus keadilan. Tanpa keterlibatan komunitas, transisi energi hanya mengganti kutukan minyak dengan beton. Masa depan energi Indonesia harus bersih dan adil, agar suara lokal ikut menentukan arah pembangunan nasional.
Buku ini ditulis berdasarkan kisah terbaik dan terburuk dalam sejarah minyak dunia. Ia merupakan renungan atas hasil riset dan kesaksian para pemain lapangan yang mengunjungi lokasi eksplorasi, pertemuan dengan tim geolog, keringat teknisi di rig, dan tatapan nelayan yang lautnya mulai menghangat karena pipa.
Sebagai Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, penulis menerima bukan hanya tanggung jawab struktural, tetapi juga tanggung jawab spiritual.
Energi bukan hanya komoditas, tetapi urat nadi bangsa. Setiap keputusan dalam dunia energi adalah keputusan moral.
Buku ini adalah perjalanan: dari ladang berdarah ke pusat data, dari sumur tua ke panel surya, dari Indonesia ke dunia, dari minyak ke AI.
Manusia tidak harus menghancurkan bumi untuk bergerak. Manusia hanya perlu mengerti bahwa energi adalah amanah, bukan milik. Kendali harus seiring nurani, bukan hanya algoritma.
Jika api pertama membuat manusia lebih unggul dari hewan, maka api kedua—AI dan energi—akan menentukan apakah manusia lebih unggul dari ketamakan dan keserakahannya sendiri.
Energi akan selalu menjadi pusat peradaban. Namun, siapa yang memegang kendalinya, dan untuk tujuan apa—itulah pertanyaan besar kita. Indonesia belum terlambat, tetapi waktu tidak menunggu. Keputusan hari ini akan menentukan apakah anak cucu kita hidup dalam cahaya atau dalam asap yang kita wariskan.
Selamat membaca. Semoga setiap bab tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga menyalakan kebijaksanaan. Karena siapa yang menguasai energi, menguasai peradaban. Dan siapa yang berjalan di atas nurani, ia adalah penjaga keadilan di muka bumi.
Editor : Amal Jaelani