Oleh: Ulul Albab
Pernah Menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan. Saat ini Ketua ICMI Orwil Jawa Timur.
DI tengah senyapnya kampus-kampus dari gema idealisme, belakangan ini kita dikejutkan oleh kabar tak biasa: ramai-ramai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus menyatakan keluar dari aliansi nasional.
Sebuah fenomena yang menggelitik pikiran, menohok nurani, dan layak disimak lebih dalam—tidak dengan kecurigaan, tetapi dengan kejernihan.
Sebagian menilai ini sebagai gejala disintegrasi. Tapi bisa jadi, ini adalah tanda perlawanan yang lebih jujur: perlawanan terhadap kemapanan gerakan yang terlalu elitis, terlalu sentralistik, dan mungkin... terlalu nyaman dengan romantisme masa lalu.
Ketika Gerakan Menjadi Struktur
Gerakan mahasiswa yang lahir dari semangat kebebasan dan otonomi, lambat laun kerap terjebak dalam struktur formal yang kaku. Ketika aliansi-aliansi dibentuk, niatnya adalah konsolidasi.
Tapi dalam praktiknya, seringkali suara-suara pinggiran—BEM kampus di luar episentrum politik ibu kota—tak mendapat ruang yang adil.
Perbedaan pandangan dianggap pembangkangan. Kritik internal dibalas dengan stempel pengkhianatan. Padahal, bukankah di situlah sejatinya demokrasi diuji?
Maka keluarnya BEM dari aliansi tak selayaknya dilihat semata sebagai perpecahan. Ia bisa jadi adalah ekspresi dari keinginan untuk memulai ulang: untuk menjadikan gerakan mahasiswa sebagai milik semua, bukan hanya milik segelintir orang.
Generasi Z dan Narasi yang Perlu Direvisi
Sudah terlalu sering kita mendengar stigma terhadap Generasi Z—mereka disebut generasi "mager", maunya instan, malas berpolitik, dan terlalu sibuk dengan gawai. Tapi benarkah?
Fenomena pembangkangan kolektif BEM terhadap struktur yang dianggap tak mewakili semangat zaman, adalah bukti sebaliknya.
Generasi ini berpikir, memilih, dan bertindak. Tapi mereka menolak tunduk pada formalisme kosong.
Mereka tidak anti-politik, tapi mereka muak dengan politik yang memanipulasi idealisme demi pamrih.
Mereka ingin politik yang bersih, jujur, dan transparan—bahkan dalam skala mikro seperti organisasi kampus. Di sini, kita patut belajar: bahwa demokrasi bukan tentang seragamnya suara, tapi tentang keberanian berbeda demi kebenaran.
Krisis Legitimasi dalam Gerakan
Setiap aliansi pasti pernah mengalami dinamika. Tapi ketika banyak anggota merasa tak lagi diwakili, maka yang rusak bukan anggotanya—melainkan legitimasi pusatnya.
Gerakan mahasiswa hari ini ditantang untuk berevolusi. Jika masih ingin relevan, ia meninggalkan model satu komando, dan beralih ke jaringan yang lebih cair dan kolaboratif. Dari pusat yang memimpin, menuju ekosistem yang menyemai.
Pelajaran untuk Kita Semua
Apa yang terjadi di tubuh gerakan mahasiswa bukan hanya urusan kampus. Ia cerminan dari apa yang terjadi dalam demokrasi kita secara lebih luas.
Bagi mahasiswa: ini momen refleksi. Keluarlah dari romantisme pergerakan masa lalu, dan susunlah model baru yang lebih jujur dan segar. Jangan menjadi gerakan yang hanya mengejar panggung, tetapi tidak mengakar pada publik.
Bagi pemerintah: berhentilah melihat gerakan mahasiswa sebagai ancaman. Mereka adalah suara hati rakyat yang kadang lebih jernih dari suara elite politik.
Bagi publik: berhentilah sinis. Kita butuh mahasiswa yang berani menyuarakan nurani. Tapi kita juga butuh mereka untuk berpikir kritis terhadap diri sendiri. Inilah saatnya.
Gerakan yang Memerdekakan
Kita tidak sedang menyaksikan kehancuran gerakan mahasiswa. Kita sedang menyaksikan proses penyembuhan. Dari gerakan yang sempat kehilangan jiwanya, menuju gerakan yang lebih merdeka, lebih reflektif, dan lebih manusiawi.
Gerakan mahasiswa bukan soal aksi besar di jalan raya. Tapi soal keberanian kecil di dalam ruang diskusi, di ruang organisasi, bahkan di ruang hati sendiri: berani jujur, berani berubah, dan berani berbeda. Semoga dari fragmentasi ini, lahir kebangkitan baru.
Editor : Amal Jaelani