PRESIDEN Prabowo baru saja menyelesaikan kunjungan kenegaraanya ke Riyadh. Dan beliau tidak pulang dengan tangan kosong.
Saya mengikuti dari pemberitaan kunjungan itu dengan penuh perhatian. Bukan saja karena saya sebagai aktivis ICMI—yang tentu peduli pada arah diplomasi dunia Islam—atau karena saya sebagai ketua bidang Litbang AMPHURI, organisasi yang membawahi hamper 1000 PPIU dan PIHK, pelaku utama dalam penyelenggaraan haji dan umrah.
Tapi karena saya juga seorang akademisi yang percaya, bahwa setiap perjalanan kenegaraan adalah cerita tentang masa depan—dan masa depan, selalu pantas kita telaah.
Dari Riyadh, Presiden membawa “oleh-oleh” besar, yaitu: Komitmen investasi sekitar Rp437 triliun, Pembentukan Dewan Koordinasi Tertinggi Indonesia–Saudi, Kesepakatan peningkatan layanan haji dan umrah, dan—yang tak kalah penting—dukungan moral untuk Palestina dan solusi damai di Yaman.
Tentu, semua itu terdengar manis. Tapi bagi saya, ini bukan tentang angka. Bukan juga soal gestur cium Hajar Aswad atau salat di dalam Ka’bah (meski itu luar biasa). Tapi yang jelas ini tentang arah baru: diplomasi yang spiritual, strategis, dan manusiawi.
Dari Jamaah ke Bangsa
Saya menyimak bagaimana presiden Prabowo mengangkat isu jemaah haji: soal angka kematian, soal infrastruktur layanan, soal kemanusiaan di tengah ritual. Itu bukan isu kecil.
Dalam kerja-kerja kami di AMPHURI, setiap musim haji selalu penuh tantangan. Logistik, akomodasi, cuaca ekstrem.
Maka ketika Presiden membawa suara jemaah ke jantung birokrasi Saudi, itu pasti bukan basa-basi. Tetapi bentuk keberpihakan.
Dan hasilnya? Disambut. Disetujui. Bahkan akan dibuatkan pemukiman khusus jemaah Indonesia.
Bagi kami yang setiap tahun berhadapan dengan problem teknis dan spiritual penyelenggaraan ibadah haji, maka hal ini adalah terobosan yang sangat dinanti.
Investasi Harus Dikelola dengan Tepat
Angka Rp437 triliun itu bukan angka kecil. Itu kira-kira dua kali lipat anggaran Kementerian Kesehatan satu tahun.
Atau cukup untuk membangun ribuan sekolah, rumah sakit, bahkan mempercepat elektrifikasi desa-desa terpencil. Dalam skala APBN, itu bisa menambal banyak lubang pembangunan.
Lebih menarik lagi kalau kita bandingkan dengan sektor haji dan umrah. Dalam satu musim haji, misalnya, total belanja masyarakat Indonesia ke Arab Saudi bisa mencapai lebih dari Rp30 triliun—itu baru dari jemaah haji reguler dan khusus.
Belum termasuk umrah yang setiap tahunnya menyumbang lebih dari 1 juta keberangkatan, dengan estimasi belanja masyarakat tak kalah besarnya. Artinya, investasi ini nyaris setara dengan akumulasi ekonomi keumatan lintas sektor selama satu dekade.
Maka, ketika diumumkan bahwa komitmen investasi dari Arab Saudi mencapai Rp437 triliun, saya tidak serta-merta ikut senang. Bukan karena pesimis—justru saya bersyukur.
Saya tahu, dana sebesar itu bisa jadi berkah… tetapi bisa juga lewat begitu saja kalau tidak dikelola dengan tata kelola yang matang dan amanah.
Pernah ada banyak contoh, uang besar masuk tapi manfaatnya hanya mampir di permukaan. Proyek berdiri, tapi tak berpihak pada rakyat. Infrastruktur megah, tapi tak mengangkat pelaku kecil di sektor real.
Maka pertanyaan saya: apakah birokrasi kita cukup siap menyambutnya? Apakah roadmap pemanfaatannya sudah dirancang inklusif—bukan hanya untuk korporasi besar, tapi juga untuk sektor seperti haji, umrah, pariwisata halal, dan UMKM umat?
Kalau tidak hati-hati, investasi sebesar ini hanya akan melahirkan megaproyek tanpa makna. Tapi jika dikelola dengan benar, insyaalloh bisa jadi tonggak lahirnya ekonomi umat berbasis nilai dan kemitraan sejati.
Diplomasi Bernapas Nilai
Yang membuat saya sedikit lega adalah satu hal: diplomasi Prabowo tidak kehilangan ruh. Di tengah arus normalisasi hubungan dengan Israel, Indonesia tetap bersuara untuk Gaza.
Di tengah konflik Yaman yang rumit, kita tetap bicara damai. Ini bukan hal kecil. Ini soal sikap. Dan bangsa besar hanya bisa dihormati kalau punya sikap yang berakar dari nilai.
Itulah kekuatan kita sebenarnya. Bukan senjata. Bukan nuklir. Tapi posisi moral dan spiritual. Dan dalam pertemuan di Riyadh itu, kita melihat upaya menjaga posisi itu tetap hidup.
Tugas Bersama: Menyambut dan Mengawal
Di titik inilah saya merasa bahwa peran organisasi seperti AMPHURI dan ICMI menjadi sangat relevan dan tak bisa diabaikan.
Sebagai Ketua bidang Litbang DPP AMPHURI, saya tahu betul dinamika di lapangan. Ribuan penyelenggara haji dan umrah adalah pelaku ekonomi real yang bersentuhan langsung dengan jutaan warga Muslim setiap tahun.
Mereka bukan hanya agen perjalanan, tapi juga aktor pelayanan umat. Maka, ketika investasi besar datang, sektor ini seharusnya tidak hanya jadi penonton.
Mereka ini harus masuk dalam desain besar penguatan ekosistem ekonomi keumatan—mulai dari infrastruktur digital, layanan akomodasi, hingga pengembangan SDM bersertifikasi internasional.
Di sisi lain, sebagai aktivis ICMI, saya percaya bahwa cendekiawan Muslim bukan hanya penjaga nilai, tapi juga harus menjadi arsitek masa depan.
Kita harus ikut mengawal investasi ini—bukan untuk mencurigai, tapi untuk memastikan bahwa keadilan, transparansi, dan keberpihakan pada rakyat menjadi prinsip utama dalam pelaksanaannya.
Kita bisa memainkan peran sebagai mitra kritis pemerintah dan dunia usaha, menawarkan masukan strategis, serta menjadi jembatan antara suara rakyat dan kebijakan negara.
Presiden pulang dari Riyadh membawa oleh-oleh yang cukup luar biasa. Kini tugas kita menjaga agar oleh-oleh itu tidak cepat basi.
Oleh: Ulul Albab
Akaedemisi, Ketua ICMI Jawa Timur, Ketua Litbang DPP AMPHURI
Editor : Alim Perdana