Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI & Ketua ICMI Jawa Timur
RUU Perubahan Ketiga atas UU No. 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah tengah dibahas.
Jika disahkan tanpa revisi berarti, RUU ini berpotensi menimbulkan masalah besar, mulai dari pembengkakan birokrasi hingga ancaman bagi keberlangsungan usaha kecil Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji dan Umrah (PPIU) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Setelah menganalisis pasal demi pasal, saya melihat RUU ini bukan hanya soal haji dan umrah, melainkan tentang bagaimana negara mengelola ruang ibadah dan ruang bisnis.
Sentralisasi 3.0: Dari Pusat Sampai Kecamatan
RUU ini mengusulkan pembentukan kementerian baru khusus untuk mengurusi haji dan umrah. Kewenangan kementerian ini sangat luas, mencakup diplomasi luar negeri, penyidikan pidana, hingga pembukaan kantor di tingkat kecamatan.
Meskipun kehadiran negara hingga ke tingkat akar rumput diharapkan mempermudah penyelenggaraan ibadah, namun perlu dipertanyakan apakah hal ini justru akan menambah birokrasi yang berbelit.
Pengakuan Umrah Mandiri: Legal Tapi Longgar?
Pasal 86 hingga 88A mengakui keberadaan umrah mandiri. Meskipun ini merupakan pengakuan atas realitas yang ada, namun hal ini juga berpotensi menjadi masalah.
Pelaku umrah mandiri tidak terikat aturan ketat seperti PPIU. Tidak ada kewajiban manasik, pengawasan kualitas layanan, dan tanggung jawab hukum yang jelas.
Jika terjadi masalah di Tanah Suci, siapa yang bertanggung jawab? Negara berpotensi lepas tangan, sementara PPIU justru dibebani aturan yang semakin ketat. Ini bukan kompetisi yang sehat, melainkan "permainan dua aturan" dalam satu lapangan.
Dukungan terhadap Kehadiran Negara, Namun Bukan Monopoli
Saya setuju dengan kehadiran negara dalam penyelenggaraan haji dan umrah, namun bukan sebagai pemain tunggal.
Peran negara seharusnya sebagai wasit, fasilitator, dan pelindung. Jika semua layanan, mulai dari akomodasi hingga asuransi, dikelola negara melalui Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), lalu di mana ruang usaha PPIU dan PIHK?
PPIU dan PIHK: Pelaku yang Tidak Diakui Secara Eksplisit
RUU ini menyebutkan peran masyarakat dan Kesatuan Bandar Haji dan Umrah (KBIHU), namun tidak secara tegas menyebutkan PPIU dan PIHK sebagai pelaku utama penyelenggaraan umrah.
Padahal, merekalah yang selama ini bekerja di lapangan, menyediakan layanan, membimbing jamaah, dan menanggung risiko.
RUU Ini Membutuhkan Koreksi: Inklusif dan Berkeadilan
Lima hal berikut perlu disesuaikan agar RUU ini lebih inklusif dan berkeadilan:
1. PPIU dan PIHK harus disebutkan secara eksplisit dalam batang tubuh regulasi, bukan hanya dalam penjelasan.
2. Umrah mandiri perlu aturan main yang jelas, minimal standar layanan, pelaporan, dan tanggung jawab, agar jamaah tetap terlindungi. Kecuali jika benar-benar mandiri, tidak dikoordinir, dan dilakukan oleh individu berpengalaman.
3. BLU dan BPKH harus membuka ruang kolaborasi dengan pelaku usaha swasta.
4. Masa penyesuaian izin dua tahun perlu penjelasan rinci mengenai syarat dan mekanismenya.
5. Asosiasi seperti AMPHURI, HIMPUH, dan lainnya harus dilibatkan secara formal sebagai mitra dalam pengawasan dan perumusan kebijakan.
Jangan Sampai Lahir Ketimpangan Baru
Reformasi haji dan umrah sangat penting, namun jangan sampai mematikan pelaku usaha yang sudah berjalan baik. Negara boleh mengambil peran lebih besar, tetapi tidak boleh memonopoli.
Monopoli akan menggeser pelayanan ibadah menjadi dominasi satu pihak, yang bukan merupakan jalan terbaik.
Wallahu a'lam.
Tulisan ini merupakan catatan terbuka dan bahan refleksi publik, termasuk bagi para legislator dan pemangku kebijakan.
Editor : Alim Perdana