Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Orwil Jawa Timur
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
PRABOWO ke Makkah, bukan untuk umrah atau meninjau pasukan perdamaian, melainkan untuk sebuah misi yang lebih menyentuh umat, yaitu membangun kampung Indonesia di Makkah.
Gagasan ini terlihat sederhana, namun memiliki jangkauan yang sangat luas. Bagi siapa saja yang pernah menunaikan ibadah haji atau umrah dari Indonesia, pasti memahami bagaimana rumitnya urusan logistik di Tanah Suci.
Mulai dari kamar hotel yang sempit, lokasi penginapan jauh dari Masjidil Haram, makanan kurang familier, hingga koordinasi antara kelompok yang sering menimbulkan stres. Jemaah pun kelelahan dan pembimbing menjadi terbebani.
Setiap tahun, lebih dari 1,5 juta warga Indonesia berangkat ke Arab Saudi untuk umrah, dengan sekitar 220 ribu orang menunaikan haji. Jumlah ini terus meningkat. Namun, belum ada basis atau "markas spiritual" yang bisa menjadi rumah logistik, pusat orientasi, hingga titik pulang bagi jemaah Indonesia.
Prabowo langsung mengambil langkah cepat. Bersama Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar, ia bertolak ke Jeddah minggu ini untuk membahas pembangunan kampung haji Indonesia di Makkah.
Bayangkan sebuah kawasan di Tanah Suci, dengan bangunan yang dirancang sesuai iklim Saudi tapi berjiwa dan bernuansa Nusantara. Terdiri dari asrama jemaah, kantin dengan hidangan khas Indonesia, klinik kesehatan, ruang pelatihan manasik, posko crisis center, serta pusat layanan digital.
Bahkan, mungkin kelak berdiri Masjid Nusantara dengan mimbar yang menyuarakan Islam moderat ala Indonesia.
Seluruh fasilitas ini akan dikelola secara profesional dan transparan, dengan tujuan mengurangi biaya jemaah. Ini bukan sekadar mimpi, melainkan sebuah kebutuhan yang mendesak, meskipun terasa terlambat.
Negara-negara seperti Malaysia dan Turki sudah memiliki fasilitas haji sendiri di Makkah. Bahkan negara dengan jumlah jemaah lebih sedikit sudah mulai mengamankan lahan dan fasilitas. Sementara Indonesia, dengan jumlah jemaah terbanyak, masih bergantung pada sistem sewa yang mahal.
Sebagai akademisi dan ketua bidang Litbang DPP AMPHURI yang sehari-hari berurusan dengan data, keluhan, dan harapan jemaah, saya menulis ini juga sebagai seorang Muslim Indonesia yang berharap bangsanya tidak sekadar menjadi tamu, tetapi memiliki pijakan di tanah Nabi.
Saya memahami betul tantangan mewujudkannya: harga tanah di Makkah sangat tinggi, proses perizinan rumit, tata kelola harus sangat matang agar tidak menjadi proyek asal jadi. Harus dirancang dengan visi jangka panjang untuk umat, bukan demi kebanggaan sementara.
Namun, hal itu tidak mustahil. Jika Prabowo mendorong dengan ketegasan militernya dan mengusung diplomasi berbasis kemaslahatan umat, Indonesia bisa menciptakan entitas baru: diplomasi spiritual.
Bayangkan negara Muslim terbesar dunia dengan wajah damai, disiplin, sopan, dan modern, memiliki "kampung" di jantung Makkah. Fasilitas ini bukan hanya simbol, tapi bisa menjadi soft power nasional.
Kelak, jemaah dari Afrika, Asia Tengah, atau Eropa melewati area di sekitar Masjidil Haram dan berkata:
"Lihat itu, Kampung Indonesia. Mereka datang ribuan, tapi selalu tertib, siap, dan ramah."
Dari kejauhan, kita bisa tersenyum karena tahu bahwa di sana ada rumah kita, di tanah suci Tanah Haram.
Editor : Alim Perdana