Oleh: Bambang Soesatyo
PREMANISME yang terus merajalela akhir-akhir ini lebih sebagai cerita tentang fakta semakin memburuknya kualitas ketertiban umum. Premanisme yang nyata-nyata ilegal itu dipraktikan setiap hari di banyak ruang publik, dan telah lama meresahkan masyarakat. Dan, sudah lama pula masyarakat berharap negara segera hadir memberi perlindungan dari aksi premanisme yang umumnya diwujudnyatakan dengan pemalakan.
Karena gelombang aksi premanisme itu terus membesar, masyarakat kebanyakan merasakan dan melihat bahwa sistem hukum seperti sudah tidak efektif lagi menjalankan fungsinya. Banyak warga hanya bisa pasrah ketika menjadi korban dari aksi premanisme itu.
Soalnya, sudah lama dikeluhkan dan dipublikasikan, tetapi negara seperti tidak pernah segera hadir untuk sekadar mengeliminasi premansime itu. Padahal eliminasi premanisme menjadi wujud nyata perlindungan masyarakat oleh sistem hukum negara.
Keluh kesah terhadap premanisme sudah disuarakan ragam komunitas. Dari pedagang kecil di pinggir jalan, manajer proyek skala kecil dan besar hingga level pengusaha, termasuk wisatawan lokal yang sering menjadi korban parkir liar dengan tarif yang tidak lazim.
Contoh kasusnya bahkan sudah terlalu banyak untuk disebutkan. Premanisme semakin marak karena teramat minimnya respons penegak hukum dan polisi pamong praja sebagai pelaksana dan penegak peraturan daerah (Perda).
Dalam sejumlah kesempatan, para praktisi bisnis sudah berulangkali mengingatkan bahwa premanisme sudah merusak kondusifitas pada berbagai aspek kehidupan bersama, termasuk merusak iklim berusaha.
Hari-hari ini, mereka yang bermodal kecil maupun besar enggan berinisiatif untuk memulai usaha baru karena premanisme menjadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.
Agar semakin mudah memahami dampak premanisme terhadap iklim berusaha di dalam negeri, contoh kasus besar ini layak dikedepankan. Produsen mobil listrik asal Tiongkok, BYD (Build Your Dreams), yang sedang membangun pabriknya di Subang, Jawa Barat, merasa terganggu oleh aksi premanisme berkedok organisasi kemasyarakatan (Ormas).
Keluhan BYD ini sudah dipublikasikan secara luas. Ketika menyuarakan keluhannya, BYD tentu tidak mengada-ada, melainkan berpijak pada fakta masalah yang dihadapi langsung.
Bayangkan, Ormas berperilaku preman pun tidak ragu mengganggu proyek besar ini. Dengan investasi sampai satu (1) miliar dolar AS, pabrik BYD di Subang dirancang dengan target kapasitas produksi sampai 150.000 unit mobil listrik per tahun. Jika segala sesuatunya berjalan sesuai rencana, pabrik ini bisa mulai beroperasi tahun 2026.
Sebaliknya, jika aksi premanisme yang mengganggu pembangunan pabrik BYD tidak segera dihentikan, realisasi investasi ini akan tertunda, atau bahkan dibatalkan. Akibatnya, prospek nilai tambah proyek investasi ini bagi masyarakat sekitar, khususnya pada aspek penyerapan tenaga kerja, tidak akan terwujud.
Boleh jadi, aksi premanisme terkini memuncak pada kasus serangan sekelompok massa terhadap polisi dan pembakaran mobil polisi di Kampung Baru, Harjamukti, Cimanggis, Depok, Jumat (18/4) dini hari. Lagi-lagi, kasus ini berawal dari niat sekelompok preman menghalang-halangi kegiatan sebuah perusahaan.
Tak hanya intimidasi dan mengancam pekerja, kelompok preman itu bahkan melepaskan tembakan yang mengenai kaca ekskavator dan juga mengenai kaki dari operator ekskavator. Ketika akan ditangkap, kelompok preman itu melakukan perlawanan, menyerang polisi dan membakar mobil polisi.
Dua contoh kasus ini sudah cukup untuk memberi gambaran tentang premanisme yang sudah demikian merajalela akhir-akhir ini. Tidak hanya merugikan para korban, tetapi nyata-nyata sudah merusak ketertiban umum.
Oleh fenomena seperti itu, institusi penegak hukum dan pelaksana serta penegak Perda harusnya terpanggil, karena fenomena itu jelas-jelas meresahkan masyarakat. Ada fakta masalah premanisme di setiap ruang publik, dan menjadi kewajiban penegak hukum untuk menanggapi masalah itu.
Sosok-sosok pelaku premanisme atau pemalakan lazimnya sudah diketahui, karena sosok-sosok itu sudah menjadi bahan pergunjingan masyarakat sekitar. Artinya, tindakan-tindakan ilegal itu sudah menjadi persoalan terbuka, sehingga tidak layak lagi jika penegak hukum hanya menunggu laporan masyarakat yang menjadi korban premanisme. Menunggu sampai adanya korban premanisme bukanlah sikap yang melindungi atau mengayomi masyarakat.
Bukankah penegak hukum harus pro aktif mencari dan mengumpulkan informasi tentang segala sesuatu yang berpotensi merusak ketertiban umum? Masyarakat kebanyakan sudah menilai bahwa kasus pembakaran mobil polisi di Depok itu sebagai buah dari pembiaran premanisme selama ini.
Padahal, penegak hukum sudah dibekali ketentuan hukum serta peraturan perundang-undangan lainnya untuk menindak dan mengeliminasi premanisme.
Dari fenomena premanisme yang merajalela akhir-akhir ini, pengarahan atau pembekalan Presiden Prabowo Subianto di forum rapat pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2025 di The Tribrata, Jakarta, akhir Januari lalu, menjadi semakin jelas relevansinya.
Di forum itu, Presiden Prabowo menegaskan bahwa segala bentuk Undang-Undang (UU), keputusan presiden, peraturan presiden, peraturan pemerintah, dan semua produk dari pemerintah tidak akan ada artinya kalau tidak ditegakkan.
Presiden menegaskan bahwa TNI dan Polri adalah dua institusi yang mewujudnyatakan kehadiran negara, penegak kedaulatan, dan wujud nyata dari eksistensi negara. Untuk alasan itulah Presiden merasa perlu mengingatkan ungkapan tentang negara gagal.
"Ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal," kata Presiden. Kepada peserta Rapim TNI-Polri itu, Presiden kemudian juga menegaskan, "Saudara-saudara harus tahu, kalau sebuah negara hendak dihancurkan, siap-siap, lawan akan memperlemah tentara, polisi, dan intelijen."
Pemerintah bersama masyarakat selalu menghendaki terwujudnya ketertiban umum. Maka, penegak hukum dan pelaksana serta penegak Perda tidak boleh membiarkan kelompok-kelompok preman berbaju Ormas merusak kualitas ketertiban umum.
Banyak perusahaan sudah berhenti berproduksi dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap puluhan ribu pekerja. Maka, penegak hukum seharusnya tidak membiarkan kelompok preman melakukan pungutan liar terhadap pelaku usaha, baik usaha besar, kecil, menengah dan mikro.
Mencari investor lokal maupun asing saat ini pun teramat sulit. Kalau ada investor lokal atau asing yang bersedia merealisasikan proyek-proyek investasi baru di dalam negeri, patutlah disyukuri. Konsekuensinya, tindakan ilegal model apa pun oleh kelompok preman seharusnya tidak dibiarkan, karena bisa menggagalkan upaya pencapaian target investasi pemerintah.
Kondusifitas atau ketertiban umum yang baik menjadi faktor kunci mewujudkan produktivitas pemerintah dan masyarakat. Ketertiban umum akan terjaga dengan baik jika penegak hukum tidak ego sektoral, atau sekadar menunggu laporan korban. Semua institusi penegak hukum harus melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik dan benar demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia.
Penulis merupakan anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)
Editor : Alim Perdana