BANYUMAS – Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menilai pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas masih jauh dari kata sukses. Meski kerap dianggap sebagai model keberhasilan, faktanya tata kelola sampah di Banyumas masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar yang serius.
Untuk itu AZWI mendesak adanya reformasi tata kelola sumber sampah untuk menghindari dampak lingkungan dan kesehatan jangka panjang.
David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPBB, menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sampah di Banyumas masih bersifat semu.
“Mengembangkan kebijakan dan proyek nasional berdasarkan kesuksesan sementara, tanpa pondasi tata kelola yang kuat, menyebabkan pemborosan APBN dan APBD serta kehilangan waktu untuk mengatasi krisis sampah secara tuntas,” tegas David.
AZWI mencatat beberapa kelemahan utama dalam tata kelola sampah di Banyumas, antara lain regulasi yang tidak jelas, kelembagaan yang lemah, dan pendanaan yang tidak memadai. Selain itu, partisipasi pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan sampah juga dinilai belum optimal.
Data menunjukkan bahwa pada tahun lalu, terjadi penumpukan sampah sekitar 5.000 ton di berbagai fasilitas pengelolaan sampah di Banyumas. Kondisi ini dipicu oleh kendala teknis dan keterbatasan teknologi yang belum memenuhi standar kualitas, sehingga berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang lebih luas.
Catur Yudha Hariani, Direktur PPLH Bali, mengkritik kebijakan pengelolaan sampah yang masih bertumpu pada teknologi mahal.
“Pemilahan sampah di sumber adalah cara terbaik untuk memastikan pengelolaan sampah yang efisien dan berkelanjutan. Memilah sampah tercampur di TPSSR dan TPST dengan berbagai teknologi pemusnah sampah dan sistem berbiaya tinggi yang akhirnya mangkrak, tidak berkelanjutan karena pemerintah daerah tidak mampu membiayainya,” kata Catur.
Pemerintah Kabupaten Banyumas mengklaim telah mengubah sampah menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai salah satu keberhasilan. Namun, hasil pemeriksaan laboratorium oleh Nol Sampah tahun 2024 menemukan bahwa sampel bahan baku RDF dan paving mengandung klorin, yang berpotensi melepaskan senyawa karsinogen dioksin dan furan selama proses pembakaran.
Hermawan Some, Direktur Nol Sampah Surabaya, memperingatkan bahaya kesehatan dari pembakaran RDF.
“Jika kandungan klorin dalam produk RDF tinggi, membakar RDF berpotensi menghasilkan dioksin dan furan yang berbahaya untuk kesehatan dan lingkungan. Perlu ada pencegahan dan pemantauan emisi dioksin dan furan sebagaimana yang diatur Permen LHK No. 70 tahun 2016,” tambah Hermawan.
Daru Setyorini, Direktur ECOTON, mencontohkan keberhasilan pengelolaan sampah di kota-kota lain seperti San Fernando di Filipina.
“Dalam waktu satu tahun saja, San Fernando telah berhasil meningkatkan pengumpulan sampah organik dan daur ulang dari 12% menjadi 60%, dan saat ini tingkat pengumpulannya telah mencapai 80%. Semua dilakukan dengan pendekatan pembatasan timbulan, pengumpulan terpilah, dan pengomposan komunal di setiap barangay (desa) tanpa kegiatan pemusnahan sama sekali,” jelas Daru.
AZWI mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi tata kelola sampah yang komprehensif. David Sutasurya menekankan pentingnya evaluasi pembagian kewenangan dan kelembagaan, serta mempertegas standar pengelolaan sampah pada regulasi nasional.
“Kami menyambut baik inisiatif dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk menerapkan penegakan hukum yang tegas kepada Kabupaten/kota. Namun, masih banyak pekerjaan lain yang perlu diselesaikan untuk membangun ekosistem tata kelola yang mendukung pemerintah daerah,” pungkas David.
Editor : Alim Perdana