SETIAP tahun, jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia berkumpul di hadapan Ka'bah mengenakan busana yang sama: dua lembar kain putih tanpa jahitan yang disebut ihram. Meskipun tampak sederhana, ihram menyimpan makna dan pelajaran sosial yang sangat dalam.
Artikel ini adalah bagian kedua dari serial reflektif “Menuju Haji Mabrur” yang dipersembahkan oleh ICMI Jawa Timur dalam rangka menyambut keberangkatan jamaah haji Indonesia tahun 2025.
Ihram bukan sekadar pakaian, melainkan simbol kesederhanaan dan kesetaraan. Di tengah dunia yang sering kali menilai seseorang dari status, gelar, atau kekayaan, ihram menghapus semua sekat itu.
Pejabat tinggi, konglomerat, akademisi, atau petani sederhana—semua kembali ke titik nol sebagai hamba Allah saat mengenakan ihram. Tidak ada perhiasan, tidak ada atribut duniawi, hanya niat yang tulus dan hati yang bersih.
Makna pertama yang bisa kita petik dari ihram adalah kesederhanaan. Di zaman di mana kemewahan sering dijadikan simbol keberhasilan, ihram hadir sebagai kritik diam-diam terhadap budaya konsumtif. Ia mengingatkan kita bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, kita tidak memerlukan atribut duniawi, melainkan ketulusan hati.
Makna kedua adalah kesetaraan. Dalam kondisi ber-ihram, tidak ada lagi perbedaan antara kaya dan miskin, antara yang berpendidikan tinggi dan yang tidak. Haji menjadi panggung ilahi yang meniadakan kasta dan kelas sosial, membongkar kepalsuan simbol duniawi.
Dalam masyarakat yang sering terjebak dalam hierarki dan menyembah gelar, ihram adalah revolusi sunyi yang menghapus sekat, menumbuhkan empati, dan mempertemukan semua orang dalam ruang kesucian yang sama.
Makna ketiga adalah kesiapan untuk wafat. Banyak ulama menyebut ihram menyerupai kain kafan. Saat mengenakan ihram, kita diajak membayangkan akhir dari segala yang kita alami di dunia dan mempersiapkan diri untuk akhirat.
Haji bukan hanya perjalanan rohani, tapi juga latihan untuk mati dengan husnul khatimah. Oleh karena itu, selama ber-ihram, ada larangan-larangan ketat seperti tidak mencabut rambut, tidak membunuh makhluk hidup, dan tidak bertengkar, karena kita berada dalam “zona suci” secara fisik dan batin.
Namun, sayangnya, makna-makna ini sering terlupakan setelah jamaah kembali ke tanah air. Pakaian putih ditanggalkan, status dan gelar kembali disematkan, bahkan keangkuhan pun hidup kembali.
Padahal, jika ruh ihram benar-benar menyatu dalam diri, seseorang akan pulang dengan kepribadian baru: lebih rendah hati, lebih mudah menyapa dan memeluk sesama, bukan menjadi manusia yang merasa lebih tinggi karena sudah menyentuh Ka'bah atau melempar jumrah.
Ihram mengajarkan bahwa kita semua setara dalam penghambaan kepada Allah. Tidak ada tempat bagi arogansi dan eksklusivisme, karena Allah menilai bukan warna pakaian kita, melainkan warna hati kita.
Semoga jemaah haji Indonesia tahun ini dapat menyelami makna ihram secara utuh dan membawa oleh-oleh paling berharga dari Tanah Suci: akhlak yang lebih bersih, jiwa yang lebih rendah hati, dan semangat kesetaraan dalam kehidupan sosial.
ICMI Jawa Timur meyakini, dari haji yang mabrur akan lahir manusia-manusia luhur yang siap membawa nilai-nilai suci ke tengah masyarakat.
Semoga kita semua kelak diberi kesempatan menjawab panggilan agung itu: panggilan cinta dari langit yang sangat kita rindukan untuk menjadi tamu-tamu-Nya.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
Editor : Alim Perdana