SURABAYA – Kemunculan varian baru virus Avian Influenza (AI) atau flu burung pada mamalia telah menimbulkan kekhawatiran global. Di Amerika Serikat, sejak awal 2024, virus AI telah menyebar di antara unggas dan sapi perah, meskipun identifikasi jenis virusnya baru berhasil dilakukan pada Maret 2024.
Prof. Dr. Suwarno, drh., M.Si., pakar virologi dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan kompleksitas dan evolusi flu burung.
"Flu burung terus berevolusi, bermutasi, dan mengalami spillover—loncatan antar spesies. Virus yang awalnya hanya menginfeksi burung liar, kini dilaporkan telah menginfeksi manusia, mamalia, dan unggas domestik," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa migrasi burung memainkan peran krusial dalam penyebaran virus AI subtype H5N1 ke berbagai negara.
Ancaman dan Kewaspadaan di Indonesia
Indonesia telah memiliki pengalaman dengan wabah flu burung sejak 2003, termasuk kasus kematian pada manusia hingga 2019. Mengingat merebaknya kasus flu burung di dunia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengeluarkan surat edaran pada 8 Januari 2025, untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat.
Prof. Suwarno menekankan pentingnya kewaspadaan. "Kewaspadaan sangat penting karena beberapa negara di Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia telah melaporkan kasus flu burung akibat varian virus Flu Burung A yang sangat patogen," tegasnya.
Gejala pada Sapi Perah dan Kucing
Sapi perah rentan terhadap paparan flu burung, dengan dampak berupa penurunan produksi susu hingga 20-100%. Prof. Suwarno memperingatkan bahaya susu yang dihasilkan sapi yang terinfeksi.
"Susu yang dihasilkan sangat tercemar virus. Susu mentah yang tidak dipasteurisasi berpotensi menyebarkan virus ke spesies lain, termasuk kucing, harimau, singa, anjing, unggas domestik, dan hewan liar lainnya," jelasnya.
Peternak perlu memperhatikan gejala flu burung pada sapi perah, yang seringkali tidak spesifik.
"Gejala umum meliputi penurunan nafsu makan, leleran lendir dari hidung, feses encer atau lengket, lesu, dehidrasi, dan demam. Susu yang dihasilkan biasanya lebih kental, pekat, dan berwarna kuning, mirip kolostrum," jelas Prof. Suwarno.
Kucing memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi dibandingkan anjing, karena sering memangsa burung. Gejala pada kucing meliputi penurunan nafsu makan, lesu, demam, leleran lendir pada mata, bersin, batuk, sesak napas, gangguan koordinasi gerak, tremor, kejang, dan bahkan kebutaan.
Pencegahan Paparan pada Kucing
Berdasarkan temuan terbaru, susu tidak dipasteurisasi dan daging mentah atau setengah matang dari unggas menjadi sumber utama infeksi pada kucing. Prof. Suwarno menyarankan beberapa langkah pencegahan:
- Hindari memberi kucing susu mentah dan daging yang tidak dimasak sempurna.
- Batasi kucing di dalam rumah untuk mencegah kontak dengan burung atau hewan liar.
- Jauhkan kucing dari ternak atau unggas.
- Segera konsultasikan ke dokter hewan jika kucing menunjukkan gejala yang telah disebutkan.
"Jika kucing menunjukkan gejala-gejala tersebut, segera bawa ke dokter hewan," imbau Prof. Suwarno.
Editor : Alim Perdana