DALAM HIDUP, kita sering terjebak dalam paradoks sederhana namun mendalam. Misalnya, ikan hidup di air, tetapi air juga digunakan untuk merebusnya; daun tertiup angin, tetapi angin juga menggugurkannya; manusia bergantung pada tanah, tetapi tanah pula yang mengubur mereka; dan cinta yang kita berikan kepada seseorang sering kali malah mendatangkan rasa sakit.
Paradoks ini, meskipun tampak ironis, menyimpan pelajaran berharga yang dapat membantu kita memahami hidup lebih baik.
Sekilas, situasi ini terlihat tidak adil. Namun, jika ditelaah lebih dalam, permasalahannya bukan terletak pada objek-objek tersebut, melainkan pada bagaimana kita memahami dan memaknainya.
Yang merebus ikan sebenarnya bukanlah air, melainkan api; yang menggugurkan daun bukan semata angin, melainkan perubahan musim; yang mengubur manusia bukanlah tanah, tetapi kematian; dan rasa sakit dalam hubungan sering kali berasal dari ego atau ekspektasi kita, bukan cinta itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sudut pandang kita memengaruhi cara kita merespons peristiwa dan pengalaman hidup.
Mengubah cara pandang adalah kunci untuk membebaskan diri dari rasa sakit dan penderitaan. Jika kita hanya berfokus pada rasa terluka, kita akan merasa menjadi korban. Namun, dengan sudut pandang baru, kita dapat menemukan bahwa setiap peristiwa, betapapun menyakitkan, menyimpan hikmah dan pelajaran berharga.
Ambil contoh ikan dan air. Air adalah habitat ikan, tetapi juga bisa merebusnya karena intervensi api. Begitu pula, daun gugur karena siklus alam, bukan hanya karena angin.
Tanah yang mengubur manusia adalah bagian dari siklus kehidupan. Dalam hubungan manusia, cinta sendiri tidak pernah menyakiti. Ego dan harapan yang tidak realistis sering menjadi akar kekecewaan dan rasa sakit.
Memasuki tahun baru, kita dapat merenungkan paradoks ini sebagai pelajaran untuk menyikapi hidup lebih bijaksana. Perubahan cara pandang sangat penting untuk menjalani hidup lebih damai.
Kesalahpahaman dan penderitaan sering kali muncul karena cara pandang yang salah, sedangkan sudut pandang yang bijak membantu kita menerima kenyataan dengan lapang dada.
Pertama, kita harus menyadari bahwa hidup adalah perjalanan penuh ketidakpastian dan perubahan. Apa yang terlihat sebagai akhir bisa menjadi awal yang baru. Misalnya, daun yang gugur memberikan ruang bagi tunas baru. Begitu pula, rasa sakit atau kehilangan dapat menjadi awal pertumbuhan dan pembelajaran.
Kedua, penting untuk melepaskan ego, ekspektasi, dan harapan yang tidak realistis. Saat mencintai, kita sering mengharapkan pemenuhan semua kebutuhan kita. Namun, setiap orang memiliki keterbatasan; memahami ini mengurangi rasa kecewa. Mencintai tanpa syarat berarti menerima orang lain apa adanya.
Ketiga, fokuslah pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. Kita tidak bisa mengubah musim atau menghentikan kematian, tetapi kita dapat mengubah respons kita. Dengan menerima kenyataan dan melihatnya sebagai bagian alami hidup, kita dapat menemukan kedamaian bahkan dalam situasi sulit.
Terakhir, kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari situasi atau orang lain. Jika kita menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal di luar kendali kita, kita akan terus kecewa. Dengan memahami bahwa kedamaian berasal dari dalam, kita dapat menghadapi hidup lebih optimis.
Menyongsong tahun 2025, mari kita jadikan momen ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki cara pandang kita. Setiap tantangan adalah peluang untuk belajar dan tumbuh.
Ketimbang terjebak dalam penderitaan, kita dapat memilih untuk melihat keindahan yang tersembunyi di balik setiap peristiwa. Dengan cara ini, kita dapat menjalani hidup lebih bijaksana, menemukan kedamaian sejati, dan menghadapi tahun baru dengan penuh semangat dan harapan.
Oleh: Mochammad Fuad Nadjib
Kepala SMA Islam Sidoarjo
Kepala Madrasah Diniyyah al-Maidah Durungbedug
Editor : Alim Perdana