ayojatim.com skyscraper
ayojatim.com skyscraper

Republik Nusantara

Taman Kusuma Bangsa di IKN Nusantara. Foto/PUPR
Taman Kusuma Bangsa di IKN Nusantara. Foto/PUPR

Republik Nusantara

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

“Bau kolonial”. Itulah narasi sekaligus justifikasi Presiden Jokowi atas IKN. Ia sampaikan di Istana Garuda IKN.

Kini Indonesia memiliki pusat pemerintahan tidak serba kolonial. Serba bangsa sendiri. Itulah pesan yang hendak disampaikan.

Faktanya selama ini pemimpin-pemimpin Indonesia tinggal di Istana berbau kolonial. Lima dari tujuh istana kepresidenan menempati bangunan warisan Kolonial Belanda.

Bangunan-bangunan itu dulunya tempat Gubernur-Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari tempat itulah eksploitasi kekayaan Indonesia oleh kolonial dilakukan.

Dari tempat itu pula rakyat Indonesia ditempatkan sebagai kelas ketiga. Bahkan didokumentasi dalam struktur kedudukan hukum.

Eropa sebagai kelas pertama. Timur Asing kelas kedua. Pribumi kelas ketiga. Bangsa budak.

Gedung-gedung itu simbol penindasan. Simbol eksploitasi. Simbol keterkungkungan rakyat Indonesia oleh kolonial. Simbol perbudakan. Bukan simbol bangsa Merdeka.

Presiden Jokowi mencatatkan diri dalam sejarah. Ia presiden pertama berhasil memindah Ibukota RI.

Ditandai Upacara Bendera 17 Agustus 2024. Terlepas secara *de jure*, status IKN masih statusquo. Masih menunggu Perpres.

Presiden terpilih Prabowo berjanji, peringatan proklamasi 17 Agustus 2025 akan diselenggarakan di IKN. Belum menyinggung soal perpres.

Mengiringi spirit dekonstruksi serba kolonial itu seharusnya tidak cukup soal istana. Kolonialis Eropa, khususnya Belanda, bercokol cukup lama.

Stasiun, rel kereta api, pelabuhan, jalan poros, infrastruktur irigasi, pabrik-pabrik perkebunan. Penggerak-penggerak ekonomi warisan Belanda. Dibuat beberapa abad lalu.

Spirit tidak serba kolonial itu seharusnya juga berwujud dalam bentuk rel kereta baru trans Sumatera-Jawa-Bali-NTT. Kalimantan. Sulawesi. Papua.

Jalan poros Jawa tidak hanya jalan Deandles. Melainkan dilengkapi jalan lintas selatan Jawa yang kaya potensi.

Pabrik-pabrik warisan Belanda seharusnya juga sudah berganti. Industri-industri berbasis karya anak negeri.

Mindset tidak serba kolonial itu seharusnya diterjemahkan hingga level bawah. Bukan hanya soal Istana.

Sebutan IKN juga mengundang polemik. Istilah itu bisa diartikan sebagai “Ibukotanya Nusantara”.

Jadi negara ini juga harus berganti nama. Repubik Indonesia (RI) menjadi Republik Nusantara (RN).

Kata Indonesia tidak serba bangsa sendiri. Diintroduksi ilmuwan-ilmuan luar negeri era kolonial.

Bagi pihak pro perubahan menjadi RN: “Republik Nusantara”, didasarkan pada alasan berikut:

Pertama, diksi “Nusantara” mencerminkan realitas faktual kebangsaan sebagai archipelgic state. Negara kepulauan.

Kedua, kata “Nusantara” mencerminkan kekitaan berbasis kemajemukan. Sebagai himpunan beragam suku, bahasa, tradisi, budaya dan keyakinan.

Ketiga, menghindari penyanderaan memori buruk masa lalu. Kata Indonesia mencerminkan sejarah ketertundukan bangsa Nusantara atas bangsa lain. Oleh karena itu perlu diganti.

Keempat, sebagai branding masa depan. Reposisi sebagai bangsa maritim dengan potensi besar.

Bagi pihak kontra, memiliki alasan berikut:

Pertama, sudah terbangun identitas. Nama Indonesia telah menjadi simbol persatuan. Bahkan sumpah pemuda menggunakan diksi “Indonesia”.

Bertumpah darah, berbangsa, berbahasa yang satu. “Indonesia”. Secara internasional nama Indonesia sudah familiar bagi khalayak luas

Kedua, biaya dan sumberdaya. Perubahan nama Republik Indonesia menjadi Republik Nusantara berbiaya mahal. Terutama perubahan adminsitratif. Termasuk dokumen-dokumen hukum seperti UUD 1945. Memerlukan proses yang tidak sederhana.

Perubahan Itu juga memerlukan tenaga besar. Khususnya ketika seluruh sumberdaya rakyat harus fokus untuk mengejar kemajuan.

Perubahan itu juga berdampak pada relasi internasional. Khususnya penyesuaian-penyesuaian administratif.

Mungkin juga berdampak pada teks-teks perjanjian internasional. Jika dalam kasus-kasus tertentu, perubahan nama itu memiliki implikasi perluasan atau penyempitan makna.

Secara administrasi juga berpotensi membuat kebingungan sesaat bagi warga negara. Selain itu memicu perdebatan yang tiada ujung antar elemen bangsa.

Spirit serba bangsa sendiri itu sebenarnya perlu diwujudkan melalui kemandirian di berbagai bidang kehidupan. Tidak bergantung pada kekuatan luar.

Tidak cukup perubahan simbol-simbol. Rebranding belaka.

Akan tetapi tidak bisa dipungkiri. Rebranding terkadang bisa menggerakkan spirit baru. Untuk tidak stag. Menggelorakan perjuangan mencapai cita-cita yang baru.

Bahwa masa depan adalah abad Asia. Nusantara ada didalamnya. Bukan abad kolonial sebagaimana dulu-dulu.

Realiasasi atas wacana itu tergatung pada Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia hendak dicatat dalam sejarah perjalanan Nusantara sebagai apa.

Sebagai perubah nama Republik Indonesia menjadi Republik Nusantara. Atau ingin catatan yang lain.

Tergangung pula kehendak rakyat banyak.

Editor : Alim Perdana