Indonesia di Persimpangan Demokrasi: Antara Rekonsiliasi Elite, Loyalitas Ganda, dan Represi Kritis

Pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Foto/Instagram
Pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Foto/Instagram

DALAM sepekan terakhir kemaren, panggung politik Indonesia menyuguhkan tiga pertunjukan besar yang menyita perhatian publik, yaitu: pertemuan empat mata antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, silaturahmi sejumlah menteri kabinet ke rumah Presiden ke-7 Joko Widodo, dan intimidasi terhadap Hara Nirankara, penulis esai kritis yang mengulas teori konspirasi kekuasaan pasca-pemilu.

Ketiga peristiwa ini, meskipun tampak tidak saling berhubungan, sejatinya membentuk satu benang merah: Indonesia sedang berada di persimpangan jalan demokrasi. Apakah kita akan melangkah menuju konsolidasi demokrasi yang matang, atau justru tergelincir dalam jebakan populisme otoriter yang mengilap di permukaan namun rapuh secara substansial?

Rekonsiliasi atau Koalisi Bayangan?

Pertemuan Prabowo dan Megawati pada 7 April 2025 bisa dibaca sebagai simbol rekonsiliasi politik. Namun, pertanyaan kritisnya adalah: rekonsiliasi untuk siapa dan demi apa? Ketika Sekjen Gerindra menyatakan bahwa PDIP "tidak bergabung dalam koalisi, tapi bisa dipakai untuk memperkuat pemerintahan," publik mulai mencium aroma politik yang lebih pragmatis daripada ideologis.

Jika oposisi tidak benar-benar mengambil posisi sebagai pengimbang kekuasaan, maka demokrasi kehilangan satu komponen pentingnya, yaitu: pengawasan. Seperti dikatakan oleh dua ilmuwan politik Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracies Die, demokrasi mati bukan karena kudeta, tetapi karena kompromi elite yang melemahkan institusi pengimbang (Levitsky & Ziblatt, 2018)..

Loyalitas Ganda dan Politik Dua Matahari

Fenomena lain yang mengemuka adalah kunjungan para menteri aktif ke rumah Jokowi saat Prabowo sedang menjalankan tugas kenegaraan. Tak sedikit dari mereka menyebut Jokowi sebagai "bos" mereka, bahkan setelah ia tak lagi menjabat. Ini adalah contoh nyata politik loyalitas ganda, yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan baru.

Apakah ini bentuk penghormatan atau sinyal dari kekuasaan bayangan? Di titik ini, kita perlu waspada terhadap lahirnya “politik dua matahari” — di mana kekuasaan formal berada di tangan presiden, tetapi kekuasaan simbolik tetap dipegang oleh tokoh lama. Situasi ini akan membuat garis komando negara kabur dan sulit dimonitor secara efektif.

Intimidasi Kritis, Gejala Bahaya Demokrasi

Yang paling mengkhawatirkan adalah kasus intimidasi terhadap Hara Nirankara, penulis esai “Presiden Tua Bangka dan Operasi Intelijen”. Ia didatangi dua orang tak dikenal setelah esainya viral di media sosial. Ini bukan sekadar tindakan individu, melainkan sinyal bahwa ruang kebebasan sipil sedang menyempit.

Dalam studi global, fenomena seperti ini disebut sebagai shrinking civic space, di mana negara menggunakan aparat, hukum, atau bahkan organisasi sipil untuk menekan kritik (Carothers, 2017; Rutzen, 2015). Padahal, dalam negara demokrasi, ekspresi kritis adalah vitamin bagi kehidupan bernegara, bukan racun.

Menuju Demokrasi Sejati, Bukan Sekadar Pemilu

Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi kita harus sadar bahwa demokrasi bukan sekadar soal pemilu. Demokrasi juga menyangkut kebebasan sipil, pembatasan kekuasaan, dan transparansi publik.

Ketika pertemuan elite menggantikan proses parlemen, ketika loyalitas pribadi melebihi institusi, dan ketika kritik dibalas dengan intimidasi — maka kita bukan sedang memperkuat demokrasi, tetapi sedang mengikisnya secara halus.

Inilah saatnya bagi kita semua — akademisi, cendekiawan, mahasiswa, media, dan masyarakat sipil — untuk tidak diam. Kita perlu memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya prosedural, tetapi juga substansial.

Kita ingin pemimpin kuat, tetapi bukan yang mematikan kritik. Kita ingin stabilitas, tetapi bukan yang dibangun di atas kompromi kekuasaan tanpa akuntabilitas.

Penulis: Dr. Ulul Albab
Akademisi Unitomo Surabaya dan Ketua ICMI Jawa Timur

 

Editor : Alim Perdana