REVISI UU TNI No. 34/2004 diwarnai gerakan anti Dwifungsi TNI. Gerakan itu tidak masif. Tidak berhasil menghambat. Revisi itu kemudian lolos mudah di DPR.
Bahkan kengototan sejumlah kelompok penolak utama kemudian meleleh. Argumentasinya, DIM (Daftar Invetarisasi Masalah) berubah. Berbeda dengan konten materi awal.
Finalisasi perubahan itu tidak membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI. Maka penolak perubahan itu kemudian surut secara halus.
Kenapa begitu? Mari kita cermati dari tiga perspektif. Ialah esensi Dwifungsi TNI, redefinisi HTAG (Hambatan, Tantangan, Ancaman dan Gangguan) dan karakteristik TNI.
Secara konsepsional, dulu, era Orba, dikenal Dwifungsi ABRI (kini disebut TNI). Era ketika Dwifungsi diterapkan secara penuh. Ialah fungsi ganda TNI/ABRI: fungsi pertahanan keamanan (hankam) dan sosial politik (sospol).
Sesuai fungsi pertahanan dan keamanan, ABRI menjaga ketertiban dan keamanan negara. Baik ancaman dari dalam maupun dari luar negeri.
Sedangkan fungsi Sosial Politik, ABRI berperan dalam kehidupan sosial dan politik negara. Termasuk dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan.
Fungsi Sosial Politik ABRI diimplementasikan dengan kehadiran fraksi TNI/Polri tanpa melalui proses pemilu. TNI/Polri memiliki satu fraksi di MR, DPR, DRD.
Salah satu alasan kehadiran fraksi TNI/Polri di MR adalah untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan UUD 1945. Agar tidak ada yang mengganti Pancasila sebagai dasar negara RI.
Revisi UU No. 30/2004 tidak mengembalikan fungsi Sosial Politik TNI itu. Sebagaimana implementasinya pada era Orde Baru.
Maka narasi anti Dwifungsi pada perubahan UU itu dinilai sebagai propaganda belaka. Tidak sesuai realitas. Para penolak revisi RUU TNI tidak memiliki pijakan intelektual yang kuat atas tudingannya itu. Maka para pendukung Anti Dwifungsi menjadi meleleh.
Terkait dengan redefinisi HTAG, sepanjang era reformasi, publik merasakan kerapuhan negara dalam menghadapi ancaman. Berbeda dengan suasana tentram dan damai pada era Orde Baru.
Beberapa saat setelah Gus Dur lengser, seorang praktisi intelijen berujar. Ia mengibaratkan jika pada era Orde Baru, radar intelijen Indonesia mencapai 14 Km. Mampu menangkap pergerakan musuh hingga radius 14 KM. Merupakan salah satu kekuatan militer dengan kemampuan terkuat di Dunia. Bukan semata dukungan persejataan. Akan tetapi strateginya mematahkan musuh sejak dini.
Era Gus Dur, kata praktisi itu, tinggal 4 km saja kemampuanya. Indonesia tidak mampu mendeteksi pergerakan musuh pada km ke 5 dan seterusnya. Apalagi setelah era Gus Dur. Kemampuanya lebih merosot lagi.
Maka banyak terjadi kejanggalan merugikan negara. Pulau Sipadan-Ligitan Lepas. Indosat lepas tanpa perlawanan. Teroris marak bertahun-tahun. Bom seperti langganan meledak di mana-mana. Itu menggambarkan lemahnya intelijen negara mengidentifikasi dan mangantisipasinya.
Bahkan pada era Presiden Jokowi, isu masuknya intelijen asing dengan mendompleng Tenaga Kerja Asing (TKA) mencut kuat dalam diskursus publik. Korupsi besar-besaran terjadi di berbagai instansi pemerintah. Negara terjebak impor di berbagai sektor.
Terdapat dugaan kuat terjadi oleh operasi intelijen asing. Pemerintah Indonesia tidak mampu megantisipasinya.
Maka ketika pemerintah hendak memperkuat hankam dengan menempatkan TNI di berbagai Kementerian, tidak sedikit publik memakluminya. Sebagai “Dwifungsi minimalis” yang diperlukan untuk mencegah masuknya infiltrasi asing dalam lembaga-lembaga negara. Bahkan banyak yang menganggap masih dalam koridor peran hankam. Tidak masuk dalam domain sosial politik.
Begitu pula dengan perjalanan reformasi telah mendewasakan rakyat Indonesia pada berbagai aspek. Termasuk pemahamannya terhadap karakteristik TNI.
Konsepsi ketentaraan negara-negara maju merupakan pasukan profesional yang direkrut untuk mendukung kepentingan kebijakan penguasa.
Sementara TNI tumbuh dari tentara rakyat. Dalam memperjuangkan, merebut dan mempertahankann kemerdekaan. TNI Tunduk pada Sapra Marga.
Inti Sapta Marga itu kesetiaan TNI hanya pada negara dan idiologi negara. Tidak tunduk pada kekuasaan. Perbedaan tajam itu pernah diperagakaan TNI ketika agresi militer Belanda II.
Pejabat politik (Presiden Soekarno dan sejumlahnya kabinetnya) memilih menyerah kepada Belanda. TNI berbeda sikap dan memilih bergerilnya mengusir penjajah.
Peristiwa itu membuat ketegangan antara Presiden Soekarno dan Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Usai serangan Umum 1 Maret 1949 oleh Letkol Soeharto, Panglima TNI itu enggan untuk kembali ke Ibukota Yogya dan bertemu Presiden. Jenderal Soedirman masih marah atas keputusan politik Presiden Soekarno yang menyerah pada Belanda itu.
Ketika kemudian berhasil dijemput Letkol Soeharto, perjumpaan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman konon dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno.
Presiden mengintruksikan agar pelukan perjumpaan dengan panglimanya itu diabadikan sedemikian rupa melalui kamera agar bisa disebarluaskan kepada publik. Bahwa hubungan dengan Panglima Soedirman itu baik-baik saja.
Kemarahan Jenderal Soedirman itu sebagai cerminan keteguhan TNI sebagai tentara rakyat. Bukan alat kekuasaan. Ketika pemegang kekuasaan tidak setia pada perjuangan rakyat, TNI bisa mengambil sikap berbeda.
Sepanjang reformasi, rakyat sudah belajar melalui banyak kejadian. Banyak varian membahayakan keamanan negara. Seperti maraknya terorisme. Bom dan beragam ancaman lainnya. Maka kepercayaan pada TNI meningkat. Bahkan dirindukan. Mungkin itu pula ketika disodorkan propaganda anti Dwifungsi, masyarakat tidak serta merta menyambarnya.
Catatan Harian: Abdul Rohman Sukardi - 24/03/2025
Editor : Alim Perdana