POLEMIK terkait ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat, mengundang sorotan publik yang tidak hanya mengarah pada soal validitas dokumen tersebut, tetapi juga pada pertanyaan yang lebih mendalam: Mengapa sebuah dokumen pribadi seperti ijazah begitu kontroversial di ruang publik?
Mungkinkah ini hanyalah soal administratif belaka, atau ada masalah yang lebih besar terkait kepercayaan dan integritas dalam pemerintahan?
Baca juga: Kebijakan Reciprocal Tariffs Donald Trump: Analisis Dampak dan Strategi Indonesia
Dokumen Pribadi yang Menjadi Urusan Publik
Secara prinsip, ijazah adalah dokumen pribadi yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan kepada individu. Namun, dalam konteks pemerintahan, dokumen ini memiliki dimensi lebih jauh.
Seorang pejabat publik, terutama yang berada di pucuk kekuasaan, tidak hanya memegang dokumen tersebut sebagai bukti pendidikan semata. Ijazah menjadi simbol legitimasi publik—bukti bahwa seseorang telah melalui proses yang sah dan diakui negara.
Seperti halnya paspor yang merupakan dokumen negara meski diberikan kepada individu, ijazah juga memiliki dimensi pengakuan negara melalui sistem pendidikan yang berlaku.
Banyak yang tidak menyadari bahwa ijazah adalah bagian dari proses verifikasi negara dalam menilai kelayakan seseorang menduduki posisi tertentu.
Apalagi jika yang bersangkutan adalah seorang pemimpin negara, maka ijazah bukan hanya milik individu, tetapi juga menjadi bagian dari narasi legitimasi publik yang harus bisa dipertanggungjawabkan.
Kepercayaan Publik: Fondasi Kekuatan Demokrasi
Isu seputar keaslian ijazah Jokowi sesungguhnya mencerminkan lebih dari sekadar kecurigaan terhadap dokumen tersebut. Polemik ini memperlihatkan adanya defisit kepercayaan yang lebih besar di kalangan masyarakat terhadap pemerintah.
Kepercayaan adalah mata uang utama dalam politik, terutama di era demokrasi yang sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas publik.
Di negara demokrasi seperti Indonesia, yang mengedepankan prinsip pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kepercayaan publik terhadap pemimpin harus terjaga dengan sebaik-baiknya.
Keterbukaan dalam hal-hal kecil, seperti verifikasi ijazah, bisa menjadi indikator dari seberapa serius pemimpin dalam menjaga akuntabilitas dirinya.
Sebaliknya, jika publik merasa ada yang disembunyikan atau dihindari, maka rasa curiga itu akan berkembang menjadi ketidakpercayaan yang lebih besar, yang akhirnya berdampak buruk pada legitimasi pemerintah.
Polemik yang Terperangkap dalam Ketertutupan
Meskipun banyak yang menganggap bahwa perkara ijazah adalah hal kecil yang tidak perlu dipermasalahkan, dalam praktiknya, ketertutupan justru memperburuk situasi. Penolakan untuk membuka dokumen atau memberikan klarifikasi dapat menimbulkan persepsi negatif bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Baca juga: Refleksi atas Tuduhan OCCRP: Menerangi Jalan di Tengah Badai Persepsi
Bahkan jika pada akhirnya terbukti tidak ada yang salah, keengganan untuk bersikap transparan akan membuat masalah ini terus membayangi.
Hal ini menjadi semacam paradox dalam pemerintahan modern. Kita hidup di dunia yang semakin transparan, di mana akses terhadap informasi adalah hak publik. Dalam hal ini, dokumen penting seperti ijazah yang terkait dengan legitimasi publik seharusnya bisa terbuka dan diverifikasi jika diperlukan.
Pemerintah bukan hanya harus berani mengelola kepercayaan, tetapi juga memberikan kejelasan dalam bentuk transparansi, agar publik tidak lagi terjebak dalam spekulasi atau asumsi negatif.
Ijazah sebagai Cermin Integritas
Apa yang terjadi dengan ijazah Jokowi juga mencerminkan satu hal yang lebih penting, yaitu budaya transparansi dalam pemerintahan. Bukan soal ijazah itu sendiri, tetapi apakah kita, sebagai bangsa, siap untuk menciptakan ruang di mana setiap pemimpin dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka?
Dalam konteks ini, seharusnya tidak ada ruang bagi pemimpin untuk menyembunyikan hal-hal yang dapat dengan mudah diverifikasi oleh publik jika itu memang relevan.
Keterbukaan ini tentu saja bukan hanya soal dokumen pendidikan, tetapi mencakup setiap aspek dari tindakan pemerintahan—mulai dari anggaran negara, kebijakan publik, hingga hasil evaluasi kinerja. Ketika negara tidak transparan, masyarakat akan berpikir ada yang disembunyikan, dan inilah yang akhirnya merusak legitimasi dan kepercayaan sosial yang harus dimiliki setiap pemimpin.
Kesimpulan: Membangun Budaya Keterbukaan
Baca juga: Kontroversi Pemecatan Dekan FK Unair, Prof Bus dan Prof Nasih Akhirnya Berpelukan
Polemik ijazah ini menunjukkan betapa pentingnya keterbukaan dalam kehidupan politik. Bukan hanya untuk menghindari keraguan atau kontroversi, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan rakyat, yang merupakan kunci dari sebuah pemerintahan yang sah dan kuat.
Keterbukaan adalah syarat utama bagi keberhasilan demokrasi. Semakin terbuka seorang pemimpin, semakin besar rasa hormat dan kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh masyarakat. Oleh karena itu, saat publik meminta verifikasi atau klarifikasi terhadap dokumen pribadi seperti ijazah, pemimpin yang baik harus siap untuk memberikan penjelasan.
Dengan demikian, bukan hanya keaslian dokumen yang terjamin, tetapi juga integritas dan kredibilitas pemimpin akan semakin kokoh.
Seperti halnya paspor yang mencerminkan identitas pribadi tapi milik negara, ijazah juga harus dilihat sebagai pengakuan negara terhadap perjalanan pendidikan seseorang.
Oleh karena itu, mari kita bangun budaya keterbukaan dan akuntabilitas dalam ruang publik, demi membangun kepercayaan yang lebih kokoh di antara pemimpin dan rakyatnya.
Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Orwil Jawa Timur, Akademisi dan
Mantan Rektor Unitomo Surabaya
Editor : Alim Perdana