Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP AMPHURI
SAYA percaya, bahaya terbesar dalam hidup bukanlah badai. Badai itu terlihat. Kita bisa menunduk, berlindung, atau berpegangan pada sesuatu yang kokoh.
Yang paling berbahaya justru tsunami yang tidak terlihat. Air masih tenang. Angin tidak ribut. Orang-orang sibuk berjualan di bibir pantai. Tapi dasar laut sudah bergerak. Pelan. Seperti tidak terjadi apa-apa.
Begitulah yang kini sedang terjadi pada industri penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) hari ini.
UU No. 14 Tahun 2025 telah membuka pintu besar bernama Umrah Mandiri. Pemerintah mungkin berniat baik: memberi pilihan kepada jamaah, memberi ruang inovasi pada pasar. Dan kemudian datanglah Permen 4/2025 untuk merapikan hal-hal teknis.
Tapi regulasi itu lupa satu hal: di dunia hari ini, yang paling cepat bergerak bukanlah manusia. Melainkan platform digital.
Dan platform digital tidak pernah datang sendirian. Mereka datang membawa data, modal, algoritma, cashback, diskon, dan sesuatu yang jauh lebih kuat dari itu: kemampuan mengubah kebiasaan manusia dalam sekejap.
Badai Dimulai dari Satu Kata, yaitu: Unbundling
Dulu, dan sampai sekarang, umrah itu “paket”. Jamaah membayar satu harga. Semua urusan diurus PPIU. Hotel, tiket, visa, asuransi, mutawwif. Selesai.
Nanti, di tangan marketplace, paket itu bisa dipotong-potong. Dijual seperti belanjaan dapur: tiket di keranjang A, hotel di keranjang B, visa di keranjang C, mutawwif freelance di keranjang D. Semuanya dengan promo. Semuanya dengan cashback. Semuanya dengan rating bintang lima.
Model ini bukan teori. Ini sudah terjadi di sektor tiket, hotel, dan layanan wisata. Dan marketplace mendapatkan fee kecil dari setiap komponen kecil itu. Kecil, tapi banyak. Banyak sekali. Dan fee kecil yang berulang itu jauh lebih kuat daripada margin satu paket PPIU.
Siapa yang bisa menang dari sistem seperti itu? Yang modalnya besar. Yang teknologinya kuat. Yang datanya lengkap. Yang bisa membakar uang sementara PPIU sibuk menghitung margin agar tetap hidup.
Sementara PPIU?
PPIU masih terikat aturan ketat: pembimbing bersertifikat, audit, laporan, tanggung jawab hukum kalau jamaah tersesat, overstay, atau kena masalah.
Marketplace? Tidak. Mereka hanya perantara digital. Kalau jamaah hilang? “Silakan hubungi penyedia layanan.” Kalau visa gagal? “Silakan baca syarat dan ketentuan.” Kalau jamaah overstay? “Aplikasi tidak bertanggung jawab atas kesalahan pengguna.”
Itu sebabnya skenario paling realistis lima tahun ke depan adalah ini: PPIU bukan mati tiba-tiba. PPIU akan layu perlahan. Satu per satu.
Seperti toko buku kecil yang kalah oleh e-commerce. Seperti taksi konvensional yang dikepung aplikasi. Seperti warung kelontong yang tersapu minimarket. Industri yang memikul kewajiban berat selalu kalah dari industri yang tak punya beban.
Dan Jangan Lupa: Platform Tidak Butuh Izin PPIU
Platform tidak butuh sertifikasi pembimbing. Tidak wajib ikut manasik. Tidak harus mendampingi jamaah di Masjidil Haram. Tidak perlu mengurus jamaah yang tersesat.
Tapi justru karena itu, mereka bisa berlari lebih cepat. Lebih murah. Lebih agresif. Dan lebih menarik bagi jamaah yang tidak paham risiko.
Apakah marketplace bisa menggeser PPIU?
Tidak. Marketplace tidak akan “menggeser”. Marketplace akan mengambil alih pasar. Dengan cara paling halus. Paling mulus. Paling elegan. Tanpa benturan. Tanpa konflik. Hanya dengan satu fitur kecil di aplikasi: Recommended for you.
Itulah tsunami yang saya maksud: datang diam-diam, pelan, halus, tapi menghantam keras.
Lalu Apa yang Harus dilakukan AMPHURI?
Pertama, jangan salah membaca situasi. Ini bukan sekadar soal harga. Bukan soal persaingan sehat. Ini soal struktur pasar digital yang tidak simetris. PPIU memikul tanggung jawab. Platform memikul komisi.
Kedua, dorong revisi norma atau penguatan regulasi. Setidaknya platform harus dipaksa menanggung sebagian tanggung jawab pada jamaah, verifikasi, escrow, asuransi wajib, complaint center, audit. Tanpa itu, PPIU akan seperti tentara yang disuruh berperang tanpa perisai.
Ketiga, AMPHURI harus mulai membangun sistem data sendiri, digitalisasi sendiri, standardisasi sendiri. Kalau ekosistem ini tidak dibangun, PPIU akan habis bukan karena salah strategi, tapi karena tidak punya senjata.
Keempat, siapkan JR sebagai rem darurat. Jangan tunggu gelombang besar datang baru berlari ke bukit. JR bukan tentang menolak inovasi. JR itu tentang memastikan permainan berlangsung adil, bukan berat sebelah.
Saya tidak menulis ini untuk menakut-nakuti. Saya hanya ingin PPIU sadar: masa depan tidak datang mengetuk pintu. Ia datang lewat API, lewat algoritma, lewat diskon 20 persen, lewat banner aplikasi.
Dan jika kita tidak siap melawannya dengan regulasi, data, dan keberanian—kita hanya akan menjadi penonton dari sebuah industri yang dulu kita bangun sendiri.
Editor : Alim Perdana