Oleh: Ulul Albab
Kabid Litbang DPP Amphuri
SAYA percaya bahwa urusan ibadah itu harusnya sederhana: asal ada niat lurus, perjalanan aman, dan pulang membawa ketenangan. Tapi negara kita kadang terlalu kreatif membuat hal yang sederhana menjadi rumit. Contohnya: munculnya istilah baru dalam UU No. 14 Tahun 2025, yaitu umrah mandiri.
Dalam forum rapat-rapat kami di AMPHURI, istilah ini lebih banyak menimbulkan kebingungan daripada pencerahan. Tapi UU ini justru melahirkan istilah itu tanpa satu paragraf pun definisi. Tidak di Pasal 1. Tidak di penjelasan. Tidak di lampiran. Semua Kosong.
Jadi apa itu umrah mandiri? Tidak ada yang tahu. Tapi UU sudah mengatur dan, ironisnya, sudah mengecualikannya dari perlindungan.
Ini seperti pemerintah membuat jalur tol baru, dengan memasang tulisan: “Silakan lewat jalur ini. Tapi kalau kecelakaan, kami tidak bertanggung jawab.” Dan ketika kita bertanya: “Jalur tol apa ini?” Jawabannya: “Nanti juga tahu sendiri.”
Dalam forum internal, ada yang bertanya begini kepada saya: “Pak Ulul, Kalau kita minta MK menambahkan definisi umrah mandiri, bukankah itu malah memperkuat konsepnya?” Pertanyaan ini bagus. Tapi sayang, salah alamat. Dalam hukum, definisi itu bukan penguatan, melainkan pembatasan.
Ibarat mobil, dengan meminta definisi itu tidak berarti kita mau menambah bensin pada mobilnya, tapi justru kita mau memasang rem.
Tanpa definisi, umrah mandiri adalah istilah yang bebas ditafsirkan siapa saja: ya oleh biro perjalanan abal-abal, oleh calo backpacker, oleh influencer TikTok, bahkan oleh siapa saja yang mau jualan paket tanpa izin. Dan karena tidak ada definisi, maka pasal-pasal turunannya menjadi liar.
Pasal 96 bilang: jamaah mandiri tidak dapat perlindungan akomodasi-transport-asuransi. Pasal 97 bilang: jamaah mandiri tidak dapat kompensasi kalau gagal berangkat.
Lho, ibadah kok seperti ini? Seolah Negara sedang bilang: “Silakan berangkat, tapi jangan salahkan kami kalau kenapa-kenapa.” Kalau seperti itu ya berarti ini bukan regulasi. Tapi pengalihan tanggung jawab.
Ada juga suara yang mendesak supaya AMPHURI meminta menghapus total pasal tentang umrah mandiri melalui Judicial Review (JR). Katanya begini: “Kalau tidak setuju, ya minta MK hapus semuanya!”
Saya tertawa dalam hati. Mengapa? Karena, Mahkamah Konstitusi itu bukan warung bakso. Kita tidak bisa pesan atau meminta ke pemilik warung dengan mengatakan: “Bu, menu yang satu ini hapuskan saja.”
MK itu terikat oleh prinsip open legal policy. Selama pemerintah dan DPR memilih sebuah model kebijakan yang secara prinsip tidak bertentangan dengan konstitusi, MK tidak akan menghapusnya. Mau kita teriak sampai haji 2030 pun, tidak akan berubah.
Kalau AMPHURI meminta MK menghapus total konsep umrah mandiri, maka hampir pasti: permohonan ditolak, semua pasal tetap berlaku, perlindungan tetap dicabut, standar layanan tetap tidak ada, travel liar tetap bebas.
Karena itu strategi kami sederhana, akademik, tapi sangat tajam, yaitu: Pertama; Minta definisi dulu, supaya jalur ini tidak liar lagi. Supaya MK bisa menguji keadilan perlindungan. Kedua; setelah definisi, minta MK menghapus pengecualian perlindungan (Pasal 96–97).
Ketiga; Minta MK mewajibkan Standar Layanan Minimal (SLM) untuk semua jamaah, termasuk mandiri. Keempat; Minta MK membatasi beban PPIU agar tidak diskriminatif dibanding jalur mandiri.
Di dunia litigasi kebijakan, ini yang disebut strategi bertahap. Menarik remnya dulu, baru menata jalannya. Dan, ini yang penting. Ada satu ironi besar yang saya kira penting kita sadari, yaitu: Jika kita meminta MK membatalkan seluruh pasal umrah mandiri, maka negara kehilangan dasar hukum untuk mengatur jalur itu.
Akibatnya: Travel liar makin liar. Penipuan makin mudah terjadi. Tidak ada standar layanan sama sekali. Tidak ada jaminan keselamatan.
Dan jika itu yang terjadi maka itu bukan solusi. Itu membuka kotak Pandora. Yang kita perjuangkan melalui AMPHURI ini adalah mengambil alih kendali. Bukan melarang jalurnya, tetapi memastikan jalur itu supaya: berpagar, terawasi, terstandar, dan yang paling penting: aman untuk jamaah.
Tentu saja, dalam dinamika kebijakan publik kita, selalu ada yang berpendapat: “Tenang saja, nanti kan ada Peraturan Pemerintah (PP) untuk melengkapinya.” Bahkan ada yang haqul yaqin bahwa kita akan bisa memberi masukan dalam penyusunan PP yang sesuai kehendak kita. Saya hanya ingin mengingatkan dengan metafor begini: “Tapi kalau fondasinya sudah retak, apa gunanya mengecat dindingnya?”
PP itu tidak bisa memperbaiki cacat konstitusional. PP tidak bisa menambah definisi. PP tidak bisa membatalkan pengecualian perlindungan. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh MK. Karena itu JR bukan pilihan emosional.
Tapi langkah konstitusional dan etis, bahkan akademis. Karena itu jika mau mengajukan JR lengkapi dulu diri dengan kapasitas konstitusional, etis, dan ilmiah akademik. Jika tidak? Lupakan saja JR.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah refleksi sederhana. Begini: Regulasi ibadah adalah urusan kemanusiaan, bukan sekadar administrasi.
Ia menyangkut keselamatan jiwa, kehormatan jamaah, dan nama baik bangsa. Ketika negara memilih jalan baru bernama umrah mandiri, maka negara wajib memastikan jalur itu tidak menjadi hutan gelap tempat warga kita tersesat.
Dan untuk itu, definisi bukan penguatan. Definisi adalah lampu jalan. Yang ingin kita pasang, melalui JR, adalah lampu itu. Agar tidak ada jamaah yang berjalan dalam gelap. Agar tidak ada lagi keluarga pulang membawa kabar susah. Agar ibadah kembali pada fitrahnya, yaitu: menenangkan, bukan menegangkan.
Editor : Alim Perdana