Oleh: Ulul Albab
Ketua Litbang DPP Amphuri
ISU ini tidak muncul dari ruang hampa. Pengalaman panjang Kementerian Luar Negeri, KJRI Jeddah, serta laporan tahunan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan bahwa visa umrah adalah salah satu instrumen yang paling sering disalahgunakan dalam praktik trafficking menuju Timur Tengah.
Dengan kata lain, kebijakan umrah mandiri perlu dikaji ulang, bukan karena kita menolak kemudahan, tetapi justru karena kita tidak ingin ada kasus yang merusak citra ekosistem ibadah umrah.
Tidak Ada Verifikasi, Tidak Ada Perlindungan
Dalam skema umrah reguler, PPIU memiliki tanggung jawab melekat untuk melakukan screening calon jamaah. Mereka, PPIU dan pemerintah, selalu memverifikasi identitas, memastikan tujuan perjalanan, mewawancarai calon jamaah, dan mendeteksi indikasi potensi seseorang berangkat umrah hanya sebagai kedok untuk bekerja illegal di Saudi. Screening ini merupakan lapisan pertama perlindungan.
Di umrah mandiri kita tidak mengenal lapisan krusial tersebut. Tidak ada lembaga yang memeriksa profil calon pelaku perjalanan. Tidak ada wawancara, tidak ada konfirmasi tujuan, tidak ada cross-check dokumen. Siapa pun bisa berangkat tanpa diketahui motivasinya. Celah inilah yang sangat mungkin berpotensi dimanfaatkan jaringan calo tenaga kerja ilegal.
Kita semua tahu, Visa umrah relatif mudah diperoleh: prosesnya cepat, tidak membutuhkan sponsor kerja, dan pemeriksaannya lebih bersifat administratif. Ini bisa menjadi peluang longgar kemungkinan banyak korban TPPO diberangkatkan dengan visa umrah.
Mereka dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi di Arab Saudi, dibiayai keberangkatannya, lalu dilepas begitu tiba di tanah suci. Dari titik ini, jaringan perekrut bekerja mengambil alih.
Tanpa Pengawasan, Jamaah Menjadi Target
Beda dengan umrah jalur PPIU. Jalur PPIU memiliki standar pengawasan di Arab Saudi, ada absensi rutin di hotel, koordinasi transportasi, pendampingan ziarah, hingga kewajiban melapor ke KJRI jika ada jamaah hilang. Pola ini menjadi instrumen kontrol sosial sekaligus mekanisme pelindungan. Jamaah yang tiba dengan rombongan tidak mudah berpindah tempat tanpa diketahui.
Sebaliknya, umrah mandiri, tidak ada pengawasan sama sekali. Jamaah bepergian sendiri, berpindah hotel sendiri, dan berinteraksi dengan berbagai pihak tanpa pendamping. Kerentanan meningkat ketika mereka tidak memahami situasi lokal.
Banyak kasus menunjukkan bahwa jamaah umrah yang tidak diawasi secara ketat bisa direkrut begitu tiba di Saudi. Dijemput calo, dibawa ke penampungan ilegal, lalu diarahkan menjadi pekerja rumah tangga, buruh kebersihan, pekerja gudang, pekerja restoran, hingga pekerja hotel tanpa izin.
Memenuhi Unsur Trafficking
UU Nomor 21 Tahun 2007 mendefinisikan TPPO sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penipuan, atau penyalahgunaan posisi rentan untuk tujuan eksploitasi. Modus yang menggunakan visa umrah memenuhi hampir seluruh unsur tersebut.
Adakalanya korban diberangkatkan dengan iming-iming pekerjaan. Setiba di Saudi, paspor disita, korban dipaksa bekerja secara ilegal, upah tidak dibayar, dan mereka tinggal di tempat penampungan yang tidak layak. Dalam banyak kasus, proses ini berlangsung secara rapi, sistematis, dan melibatkan jaringan lintas negara.
Ketika mekanisme umrah mandiri dilegalkan tanpa perlindungan tambahan, peluang TPPO semakin terbuka. Negara justru kehilangan kemampuan deteksi dini karena tidak ada lagi entitas penjamin yang wajib mengawasi dan melaporkan pergerakan jamaah.
Temuan KJRI Jeddah menunjukkan tren yang konsisten: banyak korban TPPO masuk Arab Saudi menggunakan visa umrah. Mereka tidak terdaftar dalam manifest resmi, sehingga sulit dilacak ketika terjadi pelanggaran atau ketika pemerintah hendak melakukan repatriasi.
Dalam beberapa kasus, korban ditemukan dalam kondisi memprihatinkan setelah bekerja berbulan-bulan tanpa gaji. Kasus seperti ini di luar jangkauan PPIU.
Menjaga Ibadah dari Eksploitasi
Umrah adalah ibadah. Ia seharusnya membawa ketenteraman, bukan menjadi pintu bagi eksploitasi manusia. Kebijakan umrah mandiri mungkin lahir dari niat baik, tetapi implementasinya harus mempertimbangkan realitas di lapangan. Kemudahan yang tidak disertai perlindungan hanya akan mengundang risiko baru.
Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk menutup pintu bagi inovasi layanan. Namun, negara perlu memastikan bahwa kemudahan tidak boleh berubah menjadi kerentanan. Mekanisme keamanan tambahan, verifikasi digital, registrasi wajib, atau model hibrida antara mandiri dan pengawasan bisa menjadi opsi yang lebih bijak.
Intinya, melindungi jamaah adalah tugas negara. Apa pun skema keberangkatan yang dipilih, prinsip dasarnya harus jelas: tidak boleh ada satu pun warga negara yang berangkat beribadah, tetapi justru pulang sebagai korban perdagangan orang.
Editor : Alim Perdana