Umrah Mandiri dan Krisis Perlindungan

Foto: Ilustrasi/Gemini
Foto: Ilustrasi/Gemini

Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri

JIKA semangat utama Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 adalah menciptakan ekosistem ekonomi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang tertib, profesional, dan akuntabel, maka pasal-pasal yang menyangkut perlindungan jamaah semestinya menjadi ruh utama regulasi ini. Namun, pada kenyataannya, Pasal 96 ayat (5) justru menimbulkan tanda tanya besar tentang konsistensi arah kebijakan tersebut.

Pasal 96 ayat (5) menyebutkan bahwa jamaah yang melaksanakan perjalanan umrah secara mandiri tidak dijamin oleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini. Artinya, negara secara eksplisit menegaskan bahwa jamaah umrah mandiri menanggung sendiri seluruh risiko perjalanan, mulai dari tiket, visa, akomodasi, transportasi, hingga layanan di Tanah Suci.

Antara Kebebasan dan Perlindungan

Skema umrah mandiri sering dibingkai dengan narasi kebebasan: jamaah diberi hak untuk mengatur sendiri perjalanan ibadahnya tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Dalam pandangan liberal, hal ini tampak sebagai bentuk kemerdekaan beribadah yang otonom.

Namun dalam praktiknya, kebebasan ini justru membuka ruang besar bagi kerentanan dan risiko tinggi, mulai dari penipuan tiket, pemalsuan visa, penelantaran di Arab Saudi, hingga kehilangan akses layanan kesehatan dan perlindungan hukum di luar negeri.

Ketika negara secara sadar menghapus perlindungan bagi jamaah mandiri, maka posisi jamaah menjadi sangat rentan, terutama mereka yang tidak memahami sistem perjalanan internasional atau birokrasi Arab Saudi.

Risiko Struktural dan Operasional

Terdapat sedikitnya tiga kelompok risiko besar yang mengintai skema umrah mandiri: Pertama; Risiko administratif dan legalitas: Jamaah bisa gagal berangkat karena tidak paham prosedur visa atau menggunakan visa.

Kedua; Risiko logistik: Kesalahan dalam pemesanan hotel, transportasi, atau jadwal penerbangan dapat berujung pada keterlambatan atau penelantaran jamaah di bandara.

Ketiga; Risiko perlindungan di luar negeri: Tanpa payung PPIU, jamaah kehilangan akses ke asuransi, bantuan kedaruratan, dan advokasi ketika menghadapi masalah di Arab Saudi.

Dengan demikian, umrah mandiri bukan hanya soal model alternatif penyelenggaraan, tetapi sebuah skema yang berpotensi menciptakan ketimpangan baru dalam perlindungan jamaah.

Kontradiksi dengan Prinsip Good Governance

UU No. 14 Tahun 2025 dibangun di atas semangat good governance: transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak jamaah sebagai konsumen jasa keagamaan. Namun pengecualian perlindungan dalam Pasal 96 ayat (5) justru menghilangkan prinsip dasar ini.

Negara seakan menarik diri dari tanggung jawab moral dan hukum terhadap warga negara yang sedang menjalankan ibadah. Padahal, dalam konteks hubungan internasional dan pelayanan publik lintas negara, tanggung jawab negara tidak boleh bersifat selektif.

Logika yang mengatakan bahwa “karena mandiri maka negara tidak mengatur”, pasti akan kontradiksi dengan logika yang mempertanyakan pengaturan negara terhadap jamaah umroh lewat PPIU: “wong sudah ada PPIU yang mengurus dan bertanggung jawab kok negara masih ikut cawe-cawe?”.

Kalau logika kebebasan diperlakukan kepada jamaah dengan skema umroh mandiri, mengapa logika itu juga tidak berlaku untuk skema umroh lewat PPIU. Dan tentu saja masih panjang daftar pertanyaan yang bisa muncul dan diperdebatkan.

Perlu Revisi dan Regulasi Turunan yang Bijak

Apa solusinya? jika skema umrah mandiri tetap dipertahankan maka perlu disusun sistem perlindungan dasar yang berlaku untuk semua jamaah, termasuk bagi jamaah mandiri.

Regulasi turunan dapat menetapkan standar minimal seperti: Registrasi wajib jamaah mandiri melalui sistem nasional; ada Kewajiban memiliki asuransi perjalanan dan kesehatan; ada Akses bantuan konsuler KJRI di Jeddah dan Kedutaan di Riyadh; dan Pendaftaran penyedia jasa transportasi dan akomodasi yang terverifikasi (berizin, legal, korporasi yang tunduk pada peraturan perundangan, terakreditasi, memiliki NPWP, punya track record yang baik dan seterusnya).

Dalam konteks penyedia jasa ini pun perlu diatur dengan cermat. Karena bisa multi tafsir. Penyedia jasa perjalanan umroh ada yang dari luar negeri (Arab Saudi), ada vendor perwakilan di dalam negeri, ada PPIU, ada juga perorangan atau korporasi swasta bukan PPIU.

Masalahnya adalah, jika pengaturan tentang penyedia jasa ini tidak jelas maka sangat mungkin muncul perorangan atau korporasi (non PPIU) yang menjadi penyedia jasa. Jika ini terjadi maka akan muncul lagi kontradiksi.
Mengapa?

Karena di satu sisi ada PPIU yang selama ini juga bertindak sebagai penyedia jasa untuk jamaah umroh yang diatur ketat oleh peraturan perundangan (termasuk harus berizin, legal, punya karyawan, punya NPWP, punya kantor yang jelas, terakreditasi, harus membayar pajak dan lain-lain).

Sementara di sisi lain akan muncul perorangan dan korporasi yang menjadi penyedia jasa tanpa diikat dan diatur oleh ketentuan perundangan seperti halnya PPIU. Inilah paradoks sekaligus kontradiksi yang dipertontonkan oleh UU baru ini.

Penutup

Pasal 96 ayat (5) sejatinya mencerminkan dilema klasik antara kebebasan dan tanggung jawab negara. Bila tidak dikoreksi, skema umrah mandiri akan menjadi celah kelembagaan yang berisiko menimbulkan tragedi kemanusiaan baru dalam penyelenggaraan ibadah umrah.

Kebebasan memang hak setiap warga negara, tetapi perlindungan adalah kewajiban negara. UU Nomor 14 Tahun 2025 akan kehilangan ruhnya bila membiarkan jamaah mandiri berjalan sendirian tanpa jaminan keselamatan dan pelayanan yang layak.

 

Editor : Alim Perdana