Pelajaran Berharga dari Tayangan Program Xpose Uncensored di Trans7

Tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren. Foto/Tangkapan Layar
Tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren. Foto/Tangkapan Layar

Oleh: Ulul Albab,
Ketua ICMI Jawa Timur yang juga Alumni Pondok Pesantren
Qomaruddin Sampurnan Bungah-Gresik

BEBERAPA hari terakhir, jagat media sosial kita diramaikan oleh perbincangan tentang tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menyorot kehidupan pesantren. Tayangan itu menampilkan potongan video santri yang “ngesot” untuk menyalami kiai, dengan narasi yang terdengar satir dan menyinggung.

Sekilas, mungkin itu hanya cuplikan biasa dalam logika industri media: mengejar atensi, membangun sensasi, dan menarik penonton. Tapi bagi dunia pesantren (bagi jutaan santri dan alumninya di seluruh penjuru negeri) tayangan itu terasa seperti goresan di ruang batin. Ia menyentuh sesuatu yang sangat dalam: adab, penghormatan, dan tradisi yang diwariskan dengan penuh cinta dan pengorbanan.

Reaksi keras pun muncul. PBNU melalui KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan protes terbuka dan menyebut tayangan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap marwah pesantren. Banyak alumni pesantren turun tangan, menyuarakan keprihatinan yang sama. Sementara Trans7 akhirnya menyampaikan permohonan maaf resmi, mengakui adanya kekeliruan dalam penyajian.

Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya melihat peristiwa ini bukan sekadar kontroversi media, tetapi cermin dari tantangan zaman komunikasi digital. Di tengah derasnya arus informasi dan persaingan industri penyiaran, media kadang terjebak pada godaan sensasionalisme. Padahal, media memiliki misi yang jauh lebih luhur: mendidik publik, memperkuat kebersamaan, dan menumbuhkan keadaban sosial.

Di sinilah letak pelajaran penting yang bisa kita petik. Bahwa kemajuan teknologi tidak boleh membuat kita kehilangan rasa. Media boleh modern, tapi tetap harus manusiawi. Tayangan boleh menarik, tapi tidak boleh melukai. Jurnalisme boleh kritis, tapi tetap harus beradab.

Pesantren adalah lembaga yang sudah berabad-abad menjadi benteng moral bangsa. Di sanalah nilai ikhlas, kesederhanaan, dan cinta ilmu ditanamkan.

Santri “ngesot” menyalami kiai bukanlah tanda keterbelakangan, tapi justru ekspresi cinta, adab, dan kerendahan hati yang tak bisa diterjemahkan dengan bahasa logika semata. Itu adalah simbol adab, sesuatu yang justru mulai hilang di tengah dunia modern yang serba cepat dan egoistik. Dimana ada murid yang malah berani menampar pipi gurunya tanpa penghormatan sedikitpun.

ICMI Jawa Timur memandang bahwa momentum ini semestinya menjadi ajang refleksi bersama antara media dan masyarakat. Kita tidak perlu saling menyalahkan, tetapi saling mendidik. Media perlu belajar lebih dalam tentang keragaman budaya dan agama di negeri ini.

Sebaliknya, kalangan pesantren pun bisa lebih aktif berdialog dengan media agar nilai-nilai luhur Islam bisa dipahami dan disiarkan dengan benar.

Kami di ICMI percaya bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin bukan hanya ajaran, tapi juga cara kita memandang dan merespons perbedaan. Maka sikap terbaik terhadap peristiwa ini adalah mengubah marah menjadi energi edukatif: membangun literasi, memperluas dialog, dan memperkokoh semangat saling menghormati.

Sudah saatnya media menjadi jembatan keadaban, bukan hanya panggung sensasi. Tayangan yang mendidik tidak harus kering dari daya tarik, dan tayangan yang menarik tidak harus miskin nilai. Bangsa ini butuh media yang berani berpihak pada kebenaran, bukan pada klik dan rating.

Bagi kalangan pesantren dan umat Islam, kasus ini sekaligus menjadi pengingat: bahwa kita perlu menguasai ruang komunikasi publik. Jika kita tidak hadir dengan narasi yang santun dan kuat, maka ruang itu akan diisi oleh suara-suara yang tidak memahami nilai kita.

Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran berharga. Bukan untuk memperpanjang luka, tapi untuk meneguhkan kembali nilai adab, rasa hormat, dan tanggung jawab moral dalam dunia penyiaran dan kehidupan sosial kita.

Media dan pesantren sejatinya sama-sama memikul amanat besar: menjaga akal sehat dan akhlak publik. Jika keduanya saling memahami dan bersinergi, insya Allah bangsa ini akan semakin beradab, berilmu, dan penuh kasih.

 

Editor : Alim Perdana