Reformasi Fiskal Dimulai, Penolakan Utang KCJB APBN Jadi Sinyal Berani Menkeu Purbaya

Ulul Albab, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jawa Timur dan dosen Manajemen Keuangan Publik Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Foto/Dok Pribadi
Ulul Albab, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jawa Timur dan dosen Manajemen Keuangan Publik Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Foto/Dok Pribadi

SURABAYA - Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak penanggungan utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai sebagai momen penting dalam disiplin fiskal Indonesia. Langkah ini mendapat apresiasi dari kalangan akademisi dan pegiat intelektual, yang melihatnya sebagai 'sinyal politik fiskal' yang menandai dimulainya reformasi.

Ulul Albab, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jawa Timur dan dosen Manajemen Keuangan Publik Universitas Dr. Soetomo Surabaya, menilai kebijakan Menkeu Purbaya bukan sekadar keputusan administratif, melainkan sebuah pernyataan berani tentang kemandirian fiskal.

“Menurut saya, ini bukan sekadar keputusan administratif, tapi sinyal politik fiskal yang penting. Negara tidak boleh terus jadi penjamin abadi bagi utang BUMN. Kalau setiap proyek gagal bisa diselamatkan APBN, moral hazard akan tumbuh tanpa batas,” tegas Ulul Albab.

Meskipun posisi utang pemerintah per Agustus 2025 relatif aman di angka 36,9% terhadap PDB (Rp8.300 triliun), Ulul Albab mengingatkan ancaman sesungguhnya berasal dari utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membayangi APBN.

Mengutip data Laporan Keuangan Konsolidasi BUMN 2024, Ulul Albab membeberkan total utang BUMN mencapai sekitar Rp1.680 triliun, dengan estimasi 20 hingga 25 persen di antaranya berpotensi menjadi beban APBN karena melibatkan jaminan atau penugasan negara.

“Semua proyek (BUMN) itu penting, tapi persoalannya adalah siapa yang menanggung risikonya. Kalau selalu APBN yang jadi bemper, maka itu artinya kita tidak sedang membangun kemandirian fiskal, tapi justru ketergantungan,” kritiknya.

Ia mencontohkan beberapa proyek rawan, termasuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC) dengan pinjaman luar negeri Rp85 triliun, liabilitas PLN Rp870 triliun untuk program 35.000 MW, hingga utang BUMN Karya seperti Waskita dan Hutama Karya yang mencapai Rp180 triliun.

Sebagai akademisi, Ulul Albab menyoroti kaburnya batas antara "penugasan pemerintah" dan "tanggung jawab korporasi" yang sering dimanfaatkan.

“BUMN sering diberi mandat besar untuk Proyek Strategis Nasional, tapi ketika gagal bayar, negara yang diminta menanggung. Padahal APBN itu uang publik, bukan dana talangan,” tegas Ketua ICMI Jatim itu.

Kasus krisis likuiditas yang dialami Waskita Karya menjadi 'pelajaran mahal' yang ia sebut. "Proyek yang seharusnya komersial malah berakhir jadi beban fiskal. Ini tidak boleh terus berulang," tambahnya, seraya mengutip catatan Kementerian Keuangan tentang potensi kewajiban tersembunyi (contingent liabilities) sebesar Rp1.200 triliun yang sebagian besar berasal dari proyek BUMN penugasan.

Menurut Ulul Albab, keberanian Menkeu Purbaya menolak beban utang KCJB ke APBN adalah langkah krusial. "Langkah ini menandai era baru disiplin fiskal. Negara perlu berani mengatakan ‘tidak’ untuk proyek yang tidak akuntabel. Kalau semua minta tolong APBN, itu sama saja menggadaikan masa depan fiskal kita,” ujarnya.

Keputusan tersebut, lanjut Ulul Albab, juga membawa pesan moral yang mendalam. “APBN bukan warisan pejabat, tapi titipan rakyat. Di dalamnya ada keringat petani, pajak pedagang kecil, dan setoran para buruh. Maka kehati-hatian mengelola utang bukan sekadar urusan angka, tapi urusan nurani.”

Ia berharap, momentum ini dapat mendorong transparansi laporan keuangan BUMN agar publik dapat mengetahui dengan jelas siapa yang menanggung risiko sebenarnya.

"Negara kita sebetulnya tidak kekurangan uang dan akses, yang kurang itu keberanian untuk berkata tidak. Kalau lebih banyak pejabat berani seperti Purbaya, saya yakin kita bisa keluar dari lingkaran ketergantungan fiskal,” tutupnya.

Editor : Alim Perdana