Oleh: Ulul Albab
Ketua ICMI Jawa Timur, Pengajar Pendidikan Anti-Korupsi
PUTUSAN Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim, menjadi babak baru dalam drama panjang pemberantasan korupsi di negeri ini. Dengan putusan itu, status tersangka dan penahanan Nadiem Makarim dinyatakan sah secara hukum. Proses penyidikan pun berlanjut menuju pengadilan.
Jujur, saya gelisah terhadap kasus ini. Nama besar yang identik dengan inovasi, digitalisasi, dan semangat anak muda, kini menjadi bagian dari berita korupsi. Ada rasa kecewa, tapi juga kaget.
Dari perspektif administrasi publik, kasus ini menyimpan pesan yang jauh lebih dalam: sistem kita masih rentan. Kasus ini memperlihatkan bahwa setiap program besar pemerintah (betapapun idealis tujuannya) selalu berada di tepi jurang penyimpangan ketika integritas birokrasi rapuh.
Program “digitalisasi pendidikan”, sebenarnya lahir dari niat mulia: menyiapkan generasi yang melek teknologi dan siap menghadapi dunia baru. Tapi ketika logika kebijakan tidak diikuti tata kelola yang bersih, maka idealisme itu bisa berbelok arah. Anggaran triliunan rupiah yang seharusnya menjadi jembatan ilmu, justru bisa berubah menjadi jebakan bagi pejabat dan kontraktor.
Dalam teori kebijakan publik, ini disebut implementation gap, yaitu jurang antara ide bagus dan pelaksanaan yang buruk. Banyak kebijakan di Indonesia terjebak di titik ini: visi besar di atas kertas, tapi eksekusinya dikalahkan oleh kepentingan sempit, kurangnya kontrol, dan budaya kompromi.
Putusan praperadilan ini seharusnya menjadi warning bagi kita secara nasional. Bahwa yang perlu kita benahi bukan hanya individu pelaku, tapi ekosistem kebijakannya juga sangat penting dibenahi.
Transparansi pengadaan, audit real-time, partisipasi publik dalam pengawasan, dan perlindungan bagi pelapor pelanggaran (whistleblower) harus diperkuat. Tanpa itu, siapapun bisa tergelincir. Sekalipun dia datang dari generasi reformasi dan membawa semangat perubahan.
Dalam perspektif teori korupsi, kita juga belajar sesuatu: korupsi bukan hanya soal keserakahan individu, tapi seringkali tentang collective action problem. Ketika lingkungan birokrasi permisif, pengawasan lemah, dan publik cepat lupa, maka perilaku koruptif menjadi “normal baru”. Orang jujur dianggap aneh; orang bersih dianggap menghambat. Di situlah penyakit bangsa ini bertahan.
Maka ketika Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan komitmennya untuk bersih-bersih tanpa pandang bulu, kita semua menaruh harapan besar. Tidak mudah, memang. Karena jaringan kepentingan di republik ini tidak sederhana. Tapi keberanian politik untuk menegakkan hukum tanpa tebang pilih akan menjadi warisan besar bagi kepemimpinan beliau.
Kasus ini juga seharusnya menjadi cermin bagi kita semua. Bahwa integritas bukan hanya urusan pejabat. Integritas sesungguhnya adalah budaya. Pendidikan antikorupsi tidak boleh berhenti di mata kuliah. Harus menjadi budaya. Harus dijadikan pola hidup dalam perilaku keseharian: menolak gratifikasi, menepati janji, tidak menipu laporan kecil sekalipun.
Ketika praperadilan ditolak, rasanya kita semua boleh merasa lega bahwa hukum berjalan, meski juga kita tetap harus dalam koridor praduga tak bersalah. Kita tentu juga berharap agar jangan sampai nanti prosesnya hanya berhenti di situ. Karena yang lebih penting bukan hanya menghukum, tetapi membangun sistem yang mencegah korupsi sebelum terjadi. Negara ini terlalu besar untuk terus dibiarkan bocor karena ulah segelintir orang.
Mungkin kita lelah mendengar berita korupsi. Tapi lelah bukan alasan untuk menyerah. Justru di saat seperti ini, kita harus mengubah rasa marah menjadi energi moral. Agar bangsa ini tidak lagi terbiasa dengan kebusukan. Agar anak-anak kita tak lagi tumbuh dengan pelajaran bahwa jabatan adalah jalan pintas menuju kekayaan.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi siapa pun. Kasus yang menimpa Nadiem Makarim hanyalah cermin kecil dari tantangan besar bangsa ini dalam menegakkan integritas. Kita semua, mulai dari presiden, menteri, birokrat, akademisi, mahasiswa, maupun rakyat biasa, sedang diuji dalam hal yang sama: seberapa jujur kita pada amanah publik.
Sebagai Ketua ICMI Jawa Timur, saya memandang peristiwa ini harus menjadi bahan muhasabah nasional, bukan sekadar berita sensasional. ICMI percaya bahwa bangsa besar tidak tumbuh dari hukuman semata, tetapi dari keberanian belajar dan memperbaiki diri.
Karena itu, mari kita jadikan momentum ini untuk memperkuat nilai kejujuran, menumbuhkan etika dalam kebijakan publik, dan membangun budaya antikorupsi yang hidup dalam setiap ruang pendidikan, birokrasi, dan kepemimpinan. Indonesia yang benar-benar “merdeka dari korupsi” hanya akan lahir bila keikhlasan dan tanggung jawab menjadi karakter bersama.
Editor : Alim Perdana