Oleh: Ulul Albab
Ketua Bidang Litbang DPP Amphuri
WAKIL Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, memberi bocoran. Ada 200 pegawai Kemenag dan 50 pegawai Kemenkes yang dipindahkan. Angka ini kecil dibanding total aparatur Kemenag, tapi cukup memberi sinyal. Fokus kementerian baru ini nanti bukan hanya soal administrasi keberangkatan, tetapi juga sangat memperhatikan aspek kesehatan jamaah.
Sebelumnya, urusan kesehatan jamaah sering seperti tali tambang: ditarik Kemenag di satu sisi, Kemenkes di sisi lain. Kini, keduanya dilebur dalam satu payung. Jamaah tidak boleh lagi jadi korban tarik-menarik kewenangan.
Tiga Belas Kursi
Ada kabar lain: kementerian baru ini akan punya 13 pejabat eselon I. Jumlah yang tidak kecil. Sebelum duduk di kursi eselon empuk ini, mereka semua harus menjalani assesment.
Itu kabar baik. Artinya, kursi empuk tidak lagi boleh hanya sebagai warisan jabatan. Ada saringan integritas dan kompetensi. Tentu kita berharap assesment ini bukan formalitas, tetapi benar-benar seleksi sungguhan. Sebab kita sudah terlalu sering disuguhi assesment yang hasilnya bisa ditebak: Ya gitu-gitu aja.
Di level bawah, mekanismenya lebih sederhana: Kabid Haji di provinsi otomatis menjadi Plt Kakanwil Haji dan Umrah. Kasi Haji di kabupaten/kota naik menjadi Plt Kepala Kantor Haji dan Umrah. Transisi ini praktis, setidaknya agar layanan jamaah tidak macet di tengah perubahan.
Kemenag
Pemerintah menargetkan SOTK rampung pada Oktober–November 2025. Itu artinya, sebelum musim haji 2026, kementerian baru sudah harus jalan dengan mesin penuh. Dan perlu dicatat bahwa Waktu untuk itu tidak banyak.
Sejarah pernah memberi kita pelajaran. Tahun 1999, saat kementerian baru lahir setelah reformasi, birokrasi masih gagap. Pegawai bingung siapa bos barunya, dokumen menumpuk tanpa tanda tangan. Akibatnya, kita rakyat jadi korban. Kementerian Haji dan Umrah tidak boleh mengulang bab itu lagi lho ya.
Apa Artinya Bagi Travel?
Bagi PPIU dan PIHK, ini adalah sinyal yang jelas dan terang benderang: bahwa akan ada aturan baru. Perizinan, standarisasi, hingga mekanisme pengawasan akan dipoles ulang. Jangan kaget jika ada kewajiban tambahan, terutama terkait standar kesehatan jamaah.
Biaya operasional mungkin naik. Tapi di sisi lain, reputasi layanan juga bisa meningkat. Jamaah akan merasa lebih aman, lebih sehat, lebih nyaman. Dan reputasi, bagi bisnis perjalanan, adalah modal utama.
Inilah saat yang tepat bagi asosiasi penyelenggara untuk bersuara. Menyusun masukan, menyampaikan aspirasi, bahkan mengajukan inovasi. Kementerian baru ini masih mencari bentuk. Siapa yang aktif sejak awal akan lebih didengar.
Momentum Profesionalisasi
Ada optimisme di balik semua ini. Kita sedang menyaksikan proses profesionalisasi layanan ibadah. Bahwa haji dan umrah bukan lagi soal ritual, tapi soal manajemen kelas dunia. Dari sistem tiket, akomodasi, transportasi, hingga layanan medis. Semua harus diurus dengan standar yang sama: profesional, transparan, akuntabel.
Apakah mesin baru ini akan langsung mulus? Tentu tidak. Akan ada gesekan, ego sektoral, bahkan tarik-menarik kepentingan. Tapi jika proses assesment berjalan serius, jika regulasi disusun dengan melibatkan stakeholder, dan jika birokrasi daerah diberi ruang berinovasi, hasilnya bisa berbeda.
Kini bola ada di tangan pemerintah. Dan bola pantulnya akan sampai ke tangan penyelenggara. PPIU, PIHK, dan asosiasinya tidak boleh pasif. Sebab kementerian baru ini jangan sampai hanya tentang reformasi struktur. Harus menjadi upaya transformasi tentang cara baru mengurus ibadah yang nyaman dan aman.
Editor : Alim Perdana