Membaca Ulang Kritik Purbaya: Antara Retorika dan Realitas Kebijakan

avatar ayojatim.com
Achmad Choiron. Foto: Dok-Pribadi
Achmad Choiron. Foto: Dok-Pribadi

Di ruang Komisi XI DPR, pernyataan Purbaya memang mencuri perhatian. Ia menyebut ekonomi “dicekik” karena dana pemerintah ditahan di Bank Indonesia, sektor riil kekurangan likuiditas, dan rakyat menjadi korban. Narasi itu terdengar tegas, bahkan heroik. Namun, apakah persoalan ekonomi sesederhana itu?

Kebijakan fiskal dan moneter tidak pernah lahir dari ruang hampa, apalagi dari kehendak satu individu. Sri Mulyani, bersama BI dan otoritas lain, menimbang banyak faktor: stabilitas rupiah, ancaman inflasi, defisit APBN, hingga ketidakpastian global.

Menyimpan dana di BI bukan semata “menyekik ekonomi”, melainkan bagian dari strategi menjaga kepercayaan pasar dan menghindari gejolak yang bisa lebih parah.

Sejarah juga menunjukkan bahwa resep penyelamatan krisis tidak tunggal. Tahun 1997–1998 memang penuh kekacauan, tetapi bukan karena satu kebijakan semata.

Tahun 2008 kita berhasil bertahan, salah satunya berkat konsistensi disiplin fiskal. Sementara pada 2020, pandemi COVID-19 memaksa pemerintah mengambil langkah darurat, dan Sri Mulyani justru dikenal sebagai salah satu tokoh yang berani membuka keran defisit besar untuk penyelamatan.

Purbaya sah saja menyuarakan kritik. Itu bagian dari dinamika kebijakan publik. Namun, menggambarkan dirinya sebagai penyelamat tunggal sementara pihak lain seolah penyebab penderitaan, jelas terlalu menyederhanakan masalah.

Ekonomi bukan soal satu orang salah, satu orang benar. Ini soal orkestra kebijakan yang harus dimainkan bersama.

Publik perlu waspada terhadap retorika yang membuat realitas kompleks tampak seperti drama hitam putih. Sebab kebenaran kebijakan jarang datang dari pidato yang menggugah, melainkan dari keseimbangan antara keberanian bertindak dan kehati-hatian menjaga stabilitas.

 

Penulis : Achmad Choiron - Pemerhati Sosial

Dosen Fakultas Teknik Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Editor : Amal Jaelani